Senin, 29 Oktober 2012









MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
------

KONSTITUSI NEGARA[1]
Oleh: Moh. Mahfud MD.[2]
Secara jujur harus diakui bersama bahwa dalam sepuluh tahun terakhir perkembangan konstitusi dan ketatanegaraan Indonesia bergerak begitu cepat, baik dari sudut studi ilmiah maupun dari sudut praktik ketatanegaraannya. Adalah gelombang reformasi 1998 yang pada mulanya membuka tumbuh suburnya konstitusionalisme di tengah-tengah kehidupan masyarakat seperti yang terjadi sekarang ini. Pasca meletusnya reformasi, para pelaku kenegaraan mengumandangkan bahwa untuk memperbaiki masa depan Indonesia haruslah dimulai dengan melakukan reformasi konstitusi, sehingga muncul jargon “tidak ada reformasi tanpa amandemen konstitusi”.
            Namun demikian, proses perubahan UUD 1945 yang telah terjadi dalam empat tahapan secara politik ternyata tidaklah mudah untuk direalisasikan. Terjadi perdebatan cukup keras dan sengit ketika usulan perubahan UUD 1945 tersebut diajukan di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Hal demikian sangatlah wajar terjadi, sebab konstitusi merupakan kontrak sosial dan politik yang melibatkan kepentingan dan ideologi dari sebuah negara bangsa yang sangat plural serta menjadi dasar-dasar aturan main politik untuk menegakkan HAM dan membatasi kekuasaan dalam negara. Oleh karena itu, perdebatan dan pergulatan yang mendalam bahkan cenderung keras dan meruncing menjadi suatu keniscayaan.
           
Konstitusi dan Ideologi Negara
Masih segar di dalam ingatan kita bahwa pada awal reformasi tidak semua orang setuju atas gagasan perubahan UUD 1945 dengan alasan yang bisa diterima. PDI Perjuangan dan militer termasuk kelompok kuat yang pada awalnya menolak gagasan amandemen atas UUD 1945. Saat itu Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDI Perjuangan yang menjadi pemenang pertama Pemilu 1999, menyatakan tidak setuju atas gagasan dan usulan amandemen terhadap UUD 1945. Megawati khawatir apabila gagasan itu hanya akan menjadi batu loncatan mengganti dasar dan ideologi negara atau mengganti Pancasila. Alasan serupa disampaikan juga oleh kalangan militer, dengan selalu mengedepankan Sapta Marga yang mengharuskan mereka untuk setia mempertahankan Pancasila, UUD 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
            Berdasarkan alasan-alasan itu, kita jadi sangat memahami adanya kekhawatiran akan tergantikannya dasar dan ideologi negara yaitu Pancasila, melalui pintu perubahan UUD 1945. Secara teori, kekhawatiran itu beralasan karena konstitusi memang memiliki fungsi sebagai aturan main (rule of the game) politik atas dasar terjemahan dan elaborasi dari sebuah ideologi di suatu negara. Terlebih lagi, pada saat itu tengah bermunculan wacana dan gerakan untuk memperjuangkan kembali “formalisasi” hukum Islam, misalnya dengan memberlakukan Piagam Jakarta.
Padahal, apabila kita melihat sejarah awal pembentukan UUD 1945, para pendiri negara telah melewati masa-masa perdebatan keras dan panas mengenai dasar negara yang hendak dibangun, apakah sebagai negara Islam atau negara kebangsaan (nation state). Akhirnya, berdasar keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945, dasar negara Indonesia ditegaskan bukan sebagai negara agama bukan pula negara sekuler, melainkan negara Pancasila. Artinya, Indonesia disepakati menjadi negara kebangsaan yang dijiwai oleh agama (religious nation state). Dengan demikian, Indonesia tidak dapat dikatakan sebagai negara agama, karena negara agama hanya mendasarkan diri pada satu agama tertentu. Begitu juga, Indonesia bukan negara sekuler karena negara sekuler hampa terhadap agama atau bahkan tak mau peduli dengan agama. Sebaliknya, Indonesia mengakui dan melindungi hak warga negaranya untuk memeluk agama apapun asal berkeadaban, berkeadilan dan tanpa diskriminasi.
            Dengan demikian, walaupun konstitusi dapat berubah mengikuti situasi atau keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat pada waktu tertentu (sehingga memunculkan doktrin bahwa konstitusi tidak dapat dipaksakan untuk berlaku selamanya), akan tetapi terhadap nilai-nilai ideologi negara yang terkandung di dalamnya, tidak boleh berubah. Oleh karenanya, sebelum dilakukannya amandemen UUD 1945 telah disepakati terlebih dahulu bahwa Pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila sebagai dasar negara tidak akan diubah dan akan dipertahankan. Perubahan-perubahan hanya akan menyangkut pasal-pasal melalui adendum. Inilah yang harus dipahami lebih dulu oleh siapapun yang hendak mewacanakan perlu tidaknya perubahan UUD 1945. Kesepakatan ini pulalah yang kemudian membawa PDIP waktu itu untuk menyetujui perubahan UUD 1945 dengan syarat-syarat yang ketat.
            Dalam konteks kekinian, kita tidak perlu menutup mata terhadap banyaknya pihak yang mempersoalkan UUD 1945 hasil amandemen yang telah berlaku secara resmi. Terhadap hal tersebut, setidaknya kita dapat mengelompokkan beberapa pandangan utama, yaitu pertama, pandangan yang mempersoalkan substansi isi ataupun keabsahan prosedurnya. Kedua, pandangan yang ingin kembali kepada UUD 1945 yang asli. Ketiga, pandangan yang ingin mengambil jeda terlebih dahulu untuk melakukan amandemen lanjutan karena energi politiknya telah terkuras habis. Keempat, pandangan yang ingin melakukan amandemen kelima dengan alasan masih hangatnya pewacanaan dan amandemen yang terdahulu dilakukan dinilai tanpa pertimbangan matang.
            Menghadapi beragam pandangan itu, sebaiknya kita memosisikan diri untuk berpikir lebih jernih dan mendalam, tidak emosional, dan tidak perlu larut dalam romantisme yang sentimental. Pun demikian, kita jangan sampai bersikap melawan arus sejarah seperti yang terjadi pada masa lalu dengan melarang keinginan orang untuk melakukan perubahan. Sebaliknya juga, kita tidak boleh melarang orang berpendapat agar UUD 1945 dikembalikan lagi kepada bentuk aslinya. Kesemuanya harus diwadahi untuk kemudian disalurkan melalui proses yang konstitusional agar tercipta konstitusi buatan rakyat atau konstitusi yang mencerminkan arus besar kehendak rakyat (people’s constitution). Akan tetapi pada prinsipnya, UUD 1945 sebagai konsensus tertinggi warga negara yang kini berlaku secara sah, harus secara bersama-sama dibela dan dilaksanakan sepenuhnya. Sementara, upaya melakukan amandemen juga diperbolehkan sepanjang dilakukan dengan cara-cara yang konstitusional dan tak bermaksud mengubah ideologi bangsa Indonesia.
            Dengan dipertahankannya Pancasila sebagai ideologi negara, maka konsekuensi setiap hukum yang lahir dari konstitusi haruslah memenuhi 4 (empat) kaidah, yaitu pertama, bertujuan untuk membangun dan menjamin integrasi negara dan bangsa Indonesia baik dalam aspek teritorial maupun ideologi. Kedua, didasarkan pada keseimbangan prinsip-prinsip demokrasi dan nomokrasi; Ketiga, ditujukan untuk membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keempat, didasarkan pada toleransi beragama yang berkeadaban dengan cara tidak mengistimewakan ataupun mendiskriminasi kelompok agama tertentu.
Konstitusi sebagai Produk Situasi
            Begawan konstitusi K.C Wheare mengatakan dalam bukunya Modern Constitutions bahwa konstitusi suatu negara itu adalah resultante atau produk kesepakatan dari situasi politik, sosial, dan ekonomi pada waktu tertentu. Apabila situasi, kebutuhan, dan tuntutan masyarakat berubah maka UUD sebagai resultante juga dapat berubah. Persoalan mengenai kapan situasi itu datang adalah persoalan yang tersendiri. Oleh sebab itu, lanjut Wheare, di dalam setiap UUD haruslah ada pasal yang mengatur perubahan.
Di Indonesia, hal tersebut telah dibuktikan. Dari aspek sejarah, sejak awal UUD 1945 memang dimaksudkan sebagai UUD interim. Tidak saja berdasar ucapan Bung Karno pada Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 yang menyebutnya sebagai ”UUD darurat yang dibuat secara kilat”, tetapi juga ditulis di dalam UUD 1945 itu sendiri, yakni di dalam Aturan Tambahan Pasal I dan Pasal II. Aturan Peralihan menegaskan bahwa setelah enam bulan berakhirnya Perang Asia Timur Raya (Perang Pasifik), Presiden mengatur segala hal yang ditentukan di dalam UUD, termasuk membentuk MPR (dengan pemilu). Kemudian dalam enam bulan setelah dibentuk, MPR bersidang untuk menetapkan UUD. Meskipun kata ”menetapkan” dapat diartikan menetapkan yang sudah ada, tetapi dalam konteks ini yaitu untuk mengubah agar sifat interim, darurat, dan kilat itu menjadi hilang.
            Pembuat UUD 1945 yang tergabung di dalam PPKI pun tidak pernah mengatakan bahwa UUD yang mereka susun sempurna sifatnya dan tak bisa diubah, namun mereka justru membuka jalan agar UUD itu tidak sulit untuk diubah, walaupun tidak juga mudah. Dalam berbagai kesempatan, mereka mengatakan bahwa UUD 1945 dibuat ”darurat” sebagai syarat formal agar Indonesia dapat merdeka. Atas dasar itu, maka di dalam Pasal 37 UUD 1945 dimuat ketentuan dan cara untuk mengubah UUD 1945 dan di dalam Aturan Tambahan diperintahkan agar MPR membicarakan dan menetapkan UUD yang tepat untuk Indonesia di masa-masa mendatang.
            Dengan demikian, saat ini siapapun boleh menyoal dan mengusulkan perubahan UUD yang sedang berlaku, jika memang ternyata terdapat resultante atau kesepakatan berdasar situasi dan kebutuhan-kebutuhan yang baru. Kesepakatan itu merupakan penekanan bahwa konstitusi adalah buatan rakyat dan bukan tindakan pemerintah semata. Hal ini menjadi penting, karena ketika berbicara perubahan konstitusi maka banyak yang mengukurnya dengan teori, apakah itu produk pakar atau yang berlaku di negara lain. Misalnya ada yang mengatakan bahwa konstitusi yang kita punya adalah salah, karena tidak sesuai dengan teori Trias Politika yang asli sebagaimana yang dimaksud oleh Montesquieu, atau contoh lainnya yaitu mekanisme judicial review yang kita jalankan tidaklah sama sebagaimana praktik di Austria.
Pertanyaannya, siapa yang mewajibkan kita untuk mengikuti Montesquieu? Sementara itu, tidak ada yang menyuruh kita untuk mengekor pada konstitusi negara lain. Jika Montesquieu bisa membuat teori, mengapa kita tidak? Toh, kita punya kebutuhan yang mungkin harus menggunakan pendekatan teori lain yang lebih relevan dengan kebutuhan bangsa dan negara Indonesia. Bukankah setiap negara bebas untuk membuat atau memodifikasi sendiri konstitusinya masing-masing?
Pernah juga ada yang mengatakan bahwa kesalahan fatal konstitusi kita adalah karena tidak menganut sistem perwakilan bikameral yang jelas dengan prinsip checks and balances seperti Amerika Serikat. Akibatnya, parlemen menjadi asimetris karena DPD tak bergigi dan mandul. Dalam proses legislasi, DPD tak boleh ikut menetapkan UU, melainkan hanya boleh ikut pada tahap awal pembuatan UU tertentu. Itu pun terbatas dalam kaitannya dengan sembilan macam materi UU. Pertanyaannya, siapa yang mengharuskan kita mengikuti sistem bikameral ala Amerika Serikat? Bukankah kita dapat membuat desain sendiri tentang parlemen sebagai pilihan politik kita? Bahwa yang ada sekarang ini dipandang kurang baik, dapat saja kita perbaiki lagi tanpa harus membelenggu diri untuk meniru yang berlaku di luar negeri.
Kita, bangsa ini, berhak membuat teori konstitusi sendiri. Hukum tata negara yang berlaku pada suatu negara adalah apa yang dituangkan oleh rakyat di dalam konstitusinya. Hal tersebut terlepas dari sama atau tidak sama dengan teori tertentu, sejalan atau tak sejalan dengan yang berlaku di negara lain. Sebagai wacana, bisa saja teori atau pendapat pakar dan sistem yang berlaku di negara lain dikemukakan, namun hal itu sekedar menjadi referensi bagi pembaruan dan kita tidak wajib untuk mengikutinya, sebab kita punya tuntutan situasi dan kebutuhan sendiri.
Mungkin ada bagian konstitusi yang sama dengan teori tertentu atau sama dengan yang berlaku di negara lain, sedangkan bagian lainnya berbeda. Hal tersebut tidak perlu diperdebatkan, sebab sah-sah saja sebagai pilihan politik kita. Tetapi yang jelas, isi UUD merupakan "pilihan politik" dari lembaga politik yang berwenang menetapkannya atas nama bangsa, sehingga kemudian berdasarkan teori resultante Wheare, konstitusi adalah kesepakatan tentang pilihan politik bangsa bersangkutan tanpa harus mengikuti teori apa pun, apalagi terikat pada apa yang berlaku di negara lain. Prinsipnya, setiap bangsa dapat memilih politiknya sesuai dengan kebutuhan.
MK: Mengawal Konstitusi
            Sebagai kesepakatan “pilihan politik” dari lembaga politik yang berwenang menetapkannya atas nama bangsa, maka konstitusi berposisi sebagai hukum tertinggi. Konstitusi sebagai hukum tertinggi menisbatkan bahwa semua produk hukum di negara ini tidak boleh bertentangan dengan Konstitusi, apalagi melanggarnya. Untuk itu, sangatlah tepat jika pada perubahan UUD 1945 yang lalu muncul gagasan mengenai perlunya suatu lembaga yang berfungsi untuk mengawal konstitusi, sehingga lahirlah Mahkamah Konstitusi (MK).
Sejak awal, MK dibentuk dengan tujuan mengawal supremasi UUD 1945 sebagai hukum dasar (rechtstidee) dan hukum tertinggi (de hoogste wet) di Indonesia. UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah memberi empat kewenangan dan satu kewajiban kepada MK. Empat kewenangan tersebut, yaitu: Pertama, melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD (judicial review); Kedua, memutus sengketa kewenangan lembaga negara; Ketiga, memutus pembubaran partai politik; dan Keempat, memutus perselisihan hasil pemilu. Sedangkan satu kewajibannya adalah memberikan putusan atas pendapat DPR terkait proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
Peran MK dengan judicial review-nya merupakan dorongan untuk terwujudnya konstitusionalitas undang-undang. Melalui mekanisme tersebut, pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh ketentuan suatu undang-undang berpeluang memperoleh kembali hak konstitusionalnya yang terlanggar. Alangkah tak adil dan mengerikan apabila ada UU yang dinilai bertentangan dengan konstitusi, tetapi hanya karena tidak tersedia mekanisme yang dapat ditempuh, maka tidak ada yang bisa dilakukan kecuali patuh dan tunduk. Tanpa adanya mekanisme judicial review, undang-undang yang dibuat DPR dan Pemerintah yang jelas-jelas melanggar kaidah konstitusi dan nyata-nyata mengabaikan hak-hak konstitusionalitas rakyat akan terus bermunculan. Produk hukum demikian hanya akan menjadi etalase perundang-undangan yang tidak akan mampu mencapai tujuan hukum itu sendiri.
Apa itu judicial review? Konsep judicial review berasal dari negara-negara yang menganut prinsip supremasi konstitusi. Istilah judicial review itu sendiri merupakan istilah khas hukum tata negara Amerika Serikat yang artinya wewenang lembaga pengadilan untuk membatalkan setiap tindakan pemerintahan yang bertentangan dengan konstitusi. Menurut Soepomo, di Belanda tidak dikenal istilah judicial review, mereka hanya mengenal istilah hak menguji (toetsingensrecht). Judicial review merupakan mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan tertentu oleh hakim. Pengujian itu dilakukan atas suatu ketentuan peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau terhadap konstitusi sebagai hukum tertinggi.
Mengapa keberadaan judicial review demikian penting? Prinsip utamanya, undang-undang pada dasarnya adalah kristalisasi dari kepentingan-kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, maka patut diduga di dalamnya terdapat muatan kepentingan yang mungkin saja bertentangan atau melanggar kaidah-kaidah konstitusi. Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu peraturan undang-undang yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di atasnya. Untuk itu perlu tersedia mekanisme untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Mekanisme yang disepakati untuk menjalankan fungsi tersebut adalah judicial review yang kewenangannya diberikan kepada MK. Jika oleh MK undang-undang itu kemudian dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu wajib dibatalkan. Konstitusi sebagai hukum tertinggi adalah induk dari semua hukum yang ada di negara. Oleh karena itu, semua produk hukum harus mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Dalam kerangka demikian, tak bisa tidak, politik hukum nasional harus didesain sesuai dengan logika konstitusi.
Melalui kewenangan judicial review yang dimilikinya, MK merupakan lembaga negara yang mengawal politik hukum nasional agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi. MK dengan segenap kewenangannya menjadi ikhwal penting bagi ikhtiar mewujudkan konstitusionalitas Indonesia, sehingga patut dan tidaklah berlebihan jika MK disebut sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution).

***


[1] Makalah disampaikan dalam Acara Orientasi Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan 2009-2014 pada Selasa, 8 September 2009 di Ball Room Hotel Harris Tebet, Jakarta.
[2] Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar