Abadi Bersama Allah
Mata air meleleh begitu deras. Tubuh lunglai, lemas tidak berdaya. Wajah–wajah merunduk khusyuk. Tak ada suara kecuali desahan nafas panjang dan isak tangisan. Di tengah suasana mencekam tersebut, seorang lelaki datang dan dengan suara lantang menggambarkan keteguhan, berkhutbah, “Barang siapa menyembah Muhammad maka sesungguhnya Muhammad telah wafat. dan barang siapa menyembah Allah maka sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tak akan pernah meninggal”. Llelaki yang tidak lain adalah Abu Bakar As Shiddiq ra itu kemudian membacakan firman Allah:“Muhammad itu tidak lain adalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang?...” QS Ali Imran: 144.
Mendengar ini semua orang-orang mulai tersadar dari keterlenaan duka dan rasa seolah tidak percaya bahwa Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, manusia yang paling mereka cintai melebihi diri sendiri telah meninggal dunia. Umar ra yang tadi bahkan mengacungkan pedang mengancam akan membunuh setiap orang yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam telah wafat kini mulai sadar dan mengatakan, “Sepertinya aku tidak pernah membaca ayat ini saja”
Allah Dzat yang abadi, sementara siapapun selainNya pasti akan sirna. Barang siapa yang memeluk Islam karena Allah maka ia akan terus memeluk Islam. Dan barang siapa memeluk Islam karena selain Allah, termasuk karena Rasulullah Muhammad SAW maka ia akan melepas Islam sejalan dengan hilangnya sesuatu tersebut. Inilah kondisi yang terjadi pada orang–orang yang murtad setelah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mangkat. Ada yang perlu kita ambil pelajaran dari pidato Abu Bakar ra. di atas, “ …Allah Dzat Maha Hidup dan tak akan pernah meninggal “ artinya Allah Dzat yang abadi maka segala sesuatu yang disandarkan atau bersama dengan Allah juga akan tersaput oleh sinar keabadian Allah. Suatu aktivitas yang tercipta karena Allah, dipastikan sesuatu itu akan langgeng serta tidak terputus di tengah jalan. Suatu usaha yang dilakukan karena Allah maka usaha itu terus akan berjalan hingga sampai pada tujuan dan memberikan buah yang bisa dirasakan oleh banyak orang. Gerak langkah yang termotivasi karena Allah akan terus terayun sampai penghujung jalan meski banyak kerikil dan bebatuan menghalang. Langkah tetap akan ringan meski duri–duri telah banyak menancap. Suatu amal perbuatan yang dilandasi ketulusan karena Allah adalah laksana pepohonan yang berakar kuat menghujam ke dalam tanah sehingga tidak mudah goyah atau roboh meski terpaan angin topan. Sebuah kalam hikmah mengatakan:
“Sesuatu karena Allah akan bersambung dan sesuatu karena selain Allah pasti akan terpisah”
Dalam hikmah lain juga disebutkan:
“Barang siapa yang ikhlas karena Allah maka berkah upayanya pasti kelihatan”
Ini semua menjadi pelajaran bahwa jika menginginkan hasil maksimal dan berkesinambungan dari amal usaha yang dilakukan maka seseorang wajib menjadikan ikhlas karena Allah sebagai pondasi amal usaha tersebut. Sebuah kitab dasar dalam ilmu Nahwu yaitu Matan Jurumiyyah bisa menjadi pelajaran sangat berharga. Disebutkan bahwa selesai menulis kitab kecil tersebut, penulis tidak mendapatkan pujian dari siapapun. Bahkan sebaliknya banyak cibiran dan pelecehan diterima. Akhirnya untuk menguji keikhlasannya dalam menulis, sang penulis kemudian melemparkan dan menghanyutkan tulisan ke lautan. Hati kecil Beliau berkata, “Jika saya menulis ini karena Allah tentu Allah akan menjaganya”. Ternyata kitab tersebut sama sekali tidak basah oleh air sampai akhirnya ditemukan oleh seorang nelayan dan kemudian diajarkan hingga kitab tersebut kemudian menyebar ke seluruh dunia. Hampir tidak ditemukan sebuah institusi pengajaran agama Islam kecuali di sana mesti menjadikan kitab tersebut sebagai salah satu kurikulum pelajaran. Ini semua adalah berkah ketulusan karena Allah. Di Indonesia, kita mendapatkan banyak pesantren–pesantren atau lembaga pendidikan yang telah berusia ratusan tahun dan sudah melewati beberepa periode kepemimpinan serta telah banyak sekali menelorkan tokoh–tokoh yang menjadi pahlawan agama dan bangsa. Ini tidak lain adalah berkah keikhlasan para perintis. Sementara di sisi lain banyak pula pesantren–pesantren atau suatu institusi pendidikan yang gulung tikar. Lepas apakah latar belakang dari fenomena ini, yang pasti niat para perintis perlu dipertanyakan. Semua abadi jika bersama dengan Allah, prinsip ini juga berlaku dalam berbagai aktivitas kehidupan. Tali persahabatan yang terjalin oleh keinginan mendapatkan harta benda akan segera terlepas seiring sirnanya harta benda. Jalinan pertemanan yang termotivasi oleh kekuasaan juga demikan, akan segera terputus begitu kekuasaan telah lepas. Kenyataan ini bisa disaksikan dalam percaturan politik. Hari ini A berteman dengan B maka esok lusa sangat mungkin A akan menendang B dan begitu pula sebaliknya. Sikap akrab, senyum tawa yang senantiasa menghias wajah teman kita saat berada di hadapan kita akan senantiasa mengembang jika memang ia benar–benar tulus memberikan keakaraban dan senyum tawa. Akan tetapi jika semua itu dilakukan atas maksud–maskud tertentu dan ada tendensi di balik semuanya maka keramahan akan segera menghilang jika maksud–maksud tersebut tidak terpenuhi. Wahai para pemuda, jika engkau senantiasa disambut oleh senyuman saat berjumpa dengan para wanita (ibu–ibu atau para gadis ), kemudian senyuman itu hilang ketika engkau telah menikah maka sadarlah bahwa senyuman tersebut tidak karena Allah, tetapi karena mereka ingin menarik simpati darimu hingga kamu mau diambil sebagai menantu atau suami mereka. Dan begitu pula sebaliknya. Akhirnya semua kebaikan, keramahan dan perhatian yang diberikan oleh kita kepada orang lain atau kita yang memberikan hal tersebut kepada orang lain, kemudian hal tersebut hilang begitu saja maka sangat mungkin bahwa hal tersebut tidak dilakukan karena Allah, “Sungguh akhirat itu lebih baik daripada dunia“ QS Adh Dhuha : 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar