Senin, 29 Oktober 2012









MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
------

KONSTITUSI NEGARA[1]
Oleh: Moh. Mahfud MD.[2]
Secara jujur harus diakui bersama bahwa dalam sepuluh tahun terakhir perkembangan konstitusi dan ketatanegaraan Indonesia bergerak begitu cepat, baik dari sudut studi ilmiah maupun dari sudut praktik ketatanegaraannya. Adalah gelombang reformasi 1998 yang pada mulanya membuka tumbuh suburnya konstitusionalisme di tengah-tengah kehidupan masyarakat seperti yang terjadi sekarang ini. Pasca meletusnya reformasi, para pelaku kenegaraan mengumandangkan bahwa untuk memperbaiki masa depan Indonesia haruslah dimulai dengan melakukan reformasi konstitusi, sehingga muncul jargon “tidak ada reformasi tanpa amandemen konstitusi”.
            Namun demikian, proses perubahan UUD 1945 yang telah terjadi dalam empat tahapan secara politik ternyata tidaklah mudah untuk direalisasikan. Terjadi perdebatan cukup keras dan sengit ketika usulan perubahan UUD 1945 tersebut diajukan di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Hal demikian sangatlah wajar terjadi, sebab konstitusi merupakan kontrak sosial dan politik yang melibatkan kepentingan dan ideologi dari sebuah negara bangsa yang sangat plural serta menjadi dasar-dasar aturan main politik untuk menegakkan HAM dan membatasi kekuasaan dalam negara. Oleh karena itu, perdebatan dan pergulatan yang mendalam bahkan cenderung keras dan meruncing menjadi suatu keniscayaan.
           
Konstitusi dan Ideologi Negara
Masih segar di dalam ingatan kita bahwa pada awal reformasi tidak semua orang setuju atas gagasan perubahan UUD 1945 dengan alasan yang bisa diterima. PDI Perjuangan dan militer termasuk kelompok kuat yang pada awalnya menolak gagasan amandemen atas UUD 1945. Saat itu Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDI Perjuangan yang menjadi pemenang pertama Pemilu 1999, menyatakan tidak setuju atas gagasan dan usulan amandemen terhadap UUD 1945. Megawati khawatir apabila gagasan itu hanya akan menjadi batu loncatan mengganti dasar dan ideologi negara atau mengganti Pancasila. Alasan serupa disampaikan juga oleh kalangan militer, dengan selalu mengedepankan Sapta Marga yang mengharuskan mereka untuk setia mempertahankan Pancasila, UUD 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
            Berdasarkan alasan-alasan itu, kita jadi sangat memahami adanya kekhawatiran akan tergantikannya dasar dan ideologi negara yaitu Pancasila, melalui pintu perubahan UUD 1945. Secara teori, kekhawatiran itu beralasan karena konstitusi memang memiliki fungsi sebagai aturan main (rule of the game) politik atas dasar terjemahan dan elaborasi dari sebuah ideologi di suatu negara. Terlebih lagi, pada saat itu tengah bermunculan wacana dan gerakan untuk memperjuangkan kembali “formalisasi” hukum Islam, misalnya dengan memberlakukan Piagam Jakarta.
Padahal, apabila kita melihat sejarah awal pembentukan UUD 1945, para pendiri negara telah melewati masa-masa perdebatan keras dan panas mengenai dasar negara yang hendak dibangun, apakah sebagai negara Islam atau negara kebangsaan (nation state). Akhirnya, berdasar keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945, dasar negara Indonesia ditegaskan bukan sebagai negara agama bukan pula negara sekuler, melainkan negara Pancasila. Artinya, Indonesia disepakati menjadi negara kebangsaan yang dijiwai oleh agama (religious nation state). Dengan demikian, Indonesia tidak dapat dikatakan sebagai negara agama, karena negara agama hanya mendasarkan diri pada satu agama tertentu. Begitu juga, Indonesia bukan negara sekuler karena negara sekuler hampa terhadap agama atau bahkan tak mau peduli dengan agama. Sebaliknya, Indonesia mengakui dan melindungi hak warga negaranya untuk memeluk agama apapun asal berkeadaban, berkeadilan dan tanpa diskriminasi.
            Dengan demikian, walaupun konstitusi dapat berubah mengikuti situasi atau keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat pada waktu tertentu (sehingga memunculkan doktrin bahwa konstitusi tidak dapat dipaksakan untuk berlaku selamanya), akan tetapi terhadap nilai-nilai ideologi negara yang terkandung di dalamnya, tidak boleh berubah. Oleh karenanya, sebelum dilakukannya amandemen UUD 1945 telah disepakati terlebih dahulu bahwa Pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila sebagai dasar negara tidak akan diubah dan akan dipertahankan. Perubahan-perubahan hanya akan menyangkut pasal-pasal melalui adendum. Inilah yang harus dipahami lebih dulu oleh siapapun yang hendak mewacanakan perlu tidaknya perubahan UUD 1945. Kesepakatan ini pulalah yang kemudian membawa PDIP waktu itu untuk menyetujui perubahan UUD 1945 dengan syarat-syarat yang ketat.
            Dalam konteks kekinian, kita tidak perlu menutup mata terhadap banyaknya pihak yang mempersoalkan UUD 1945 hasil amandemen yang telah berlaku secara resmi. Terhadap hal tersebut, setidaknya kita dapat mengelompokkan beberapa pandangan utama, yaitu pertama, pandangan yang mempersoalkan substansi isi ataupun keabsahan prosedurnya. Kedua, pandangan yang ingin kembali kepada UUD 1945 yang asli. Ketiga, pandangan yang ingin mengambil jeda terlebih dahulu untuk melakukan amandemen lanjutan karena energi politiknya telah terkuras habis. Keempat, pandangan yang ingin melakukan amandemen kelima dengan alasan masih hangatnya pewacanaan dan amandemen yang terdahulu dilakukan dinilai tanpa pertimbangan matang.
            Menghadapi beragam pandangan itu, sebaiknya kita memosisikan diri untuk berpikir lebih jernih dan mendalam, tidak emosional, dan tidak perlu larut dalam romantisme yang sentimental. Pun demikian, kita jangan sampai bersikap melawan arus sejarah seperti yang terjadi pada masa lalu dengan melarang keinginan orang untuk melakukan perubahan. Sebaliknya juga, kita tidak boleh melarang orang berpendapat agar UUD 1945 dikembalikan lagi kepada bentuk aslinya. Kesemuanya harus diwadahi untuk kemudian disalurkan melalui proses yang konstitusional agar tercipta konstitusi buatan rakyat atau konstitusi yang mencerminkan arus besar kehendak rakyat (people’s constitution). Akan tetapi pada prinsipnya, UUD 1945 sebagai konsensus tertinggi warga negara yang kini berlaku secara sah, harus secara bersama-sama dibela dan dilaksanakan sepenuhnya. Sementara, upaya melakukan amandemen juga diperbolehkan sepanjang dilakukan dengan cara-cara yang konstitusional dan tak bermaksud mengubah ideologi bangsa Indonesia.
            Dengan dipertahankannya Pancasila sebagai ideologi negara, maka konsekuensi setiap hukum yang lahir dari konstitusi haruslah memenuhi 4 (empat) kaidah, yaitu pertama, bertujuan untuk membangun dan menjamin integrasi negara dan bangsa Indonesia baik dalam aspek teritorial maupun ideologi. Kedua, didasarkan pada keseimbangan prinsip-prinsip demokrasi dan nomokrasi; Ketiga, ditujukan untuk membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keempat, didasarkan pada toleransi beragama yang berkeadaban dengan cara tidak mengistimewakan ataupun mendiskriminasi kelompok agama tertentu.
Konstitusi sebagai Produk Situasi
            Begawan konstitusi K.C Wheare mengatakan dalam bukunya Modern Constitutions bahwa konstitusi suatu negara itu adalah resultante atau produk kesepakatan dari situasi politik, sosial, dan ekonomi pada waktu tertentu. Apabila situasi, kebutuhan, dan tuntutan masyarakat berubah maka UUD sebagai resultante juga dapat berubah. Persoalan mengenai kapan situasi itu datang adalah persoalan yang tersendiri. Oleh sebab itu, lanjut Wheare, di dalam setiap UUD haruslah ada pasal yang mengatur perubahan.
Di Indonesia, hal tersebut telah dibuktikan. Dari aspek sejarah, sejak awal UUD 1945 memang dimaksudkan sebagai UUD interim. Tidak saja berdasar ucapan Bung Karno pada Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 yang menyebutnya sebagai ”UUD darurat yang dibuat secara kilat”, tetapi juga ditulis di dalam UUD 1945 itu sendiri, yakni di dalam Aturan Tambahan Pasal I dan Pasal II. Aturan Peralihan menegaskan bahwa setelah enam bulan berakhirnya Perang Asia Timur Raya (Perang Pasifik), Presiden mengatur segala hal yang ditentukan di dalam UUD, termasuk membentuk MPR (dengan pemilu). Kemudian dalam enam bulan setelah dibentuk, MPR bersidang untuk menetapkan UUD. Meskipun kata ”menetapkan” dapat diartikan menetapkan yang sudah ada, tetapi dalam konteks ini yaitu untuk mengubah agar sifat interim, darurat, dan kilat itu menjadi hilang.
            Pembuat UUD 1945 yang tergabung di dalam PPKI pun tidak pernah mengatakan bahwa UUD yang mereka susun sempurna sifatnya dan tak bisa diubah, namun mereka justru membuka jalan agar UUD itu tidak sulit untuk diubah, walaupun tidak juga mudah. Dalam berbagai kesempatan, mereka mengatakan bahwa UUD 1945 dibuat ”darurat” sebagai syarat formal agar Indonesia dapat merdeka. Atas dasar itu, maka di dalam Pasal 37 UUD 1945 dimuat ketentuan dan cara untuk mengubah UUD 1945 dan di dalam Aturan Tambahan diperintahkan agar MPR membicarakan dan menetapkan UUD yang tepat untuk Indonesia di masa-masa mendatang.
            Dengan demikian, saat ini siapapun boleh menyoal dan mengusulkan perubahan UUD yang sedang berlaku, jika memang ternyata terdapat resultante atau kesepakatan berdasar situasi dan kebutuhan-kebutuhan yang baru. Kesepakatan itu merupakan penekanan bahwa konstitusi adalah buatan rakyat dan bukan tindakan pemerintah semata. Hal ini menjadi penting, karena ketika berbicara perubahan konstitusi maka banyak yang mengukurnya dengan teori, apakah itu produk pakar atau yang berlaku di negara lain. Misalnya ada yang mengatakan bahwa konstitusi yang kita punya adalah salah, karena tidak sesuai dengan teori Trias Politika yang asli sebagaimana yang dimaksud oleh Montesquieu, atau contoh lainnya yaitu mekanisme judicial review yang kita jalankan tidaklah sama sebagaimana praktik di Austria.
Pertanyaannya, siapa yang mewajibkan kita untuk mengikuti Montesquieu? Sementara itu, tidak ada yang menyuruh kita untuk mengekor pada konstitusi negara lain. Jika Montesquieu bisa membuat teori, mengapa kita tidak? Toh, kita punya kebutuhan yang mungkin harus menggunakan pendekatan teori lain yang lebih relevan dengan kebutuhan bangsa dan negara Indonesia. Bukankah setiap negara bebas untuk membuat atau memodifikasi sendiri konstitusinya masing-masing?
Pernah juga ada yang mengatakan bahwa kesalahan fatal konstitusi kita adalah karena tidak menganut sistem perwakilan bikameral yang jelas dengan prinsip checks and balances seperti Amerika Serikat. Akibatnya, parlemen menjadi asimetris karena DPD tak bergigi dan mandul. Dalam proses legislasi, DPD tak boleh ikut menetapkan UU, melainkan hanya boleh ikut pada tahap awal pembuatan UU tertentu. Itu pun terbatas dalam kaitannya dengan sembilan macam materi UU. Pertanyaannya, siapa yang mengharuskan kita mengikuti sistem bikameral ala Amerika Serikat? Bukankah kita dapat membuat desain sendiri tentang parlemen sebagai pilihan politik kita? Bahwa yang ada sekarang ini dipandang kurang baik, dapat saja kita perbaiki lagi tanpa harus membelenggu diri untuk meniru yang berlaku di luar negeri.
Kita, bangsa ini, berhak membuat teori konstitusi sendiri. Hukum tata negara yang berlaku pada suatu negara adalah apa yang dituangkan oleh rakyat di dalam konstitusinya. Hal tersebut terlepas dari sama atau tidak sama dengan teori tertentu, sejalan atau tak sejalan dengan yang berlaku di negara lain. Sebagai wacana, bisa saja teori atau pendapat pakar dan sistem yang berlaku di negara lain dikemukakan, namun hal itu sekedar menjadi referensi bagi pembaruan dan kita tidak wajib untuk mengikutinya, sebab kita punya tuntutan situasi dan kebutuhan sendiri.
Mungkin ada bagian konstitusi yang sama dengan teori tertentu atau sama dengan yang berlaku di negara lain, sedangkan bagian lainnya berbeda. Hal tersebut tidak perlu diperdebatkan, sebab sah-sah saja sebagai pilihan politik kita. Tetapi yang jelas, isi UUD merupakan "pilihan politik" dari lembaga politik yang berwenang menetapkannya atas nama bangsa, sehingga kemudian berdasarkan teori resultante Wheare, konstitusi adalah kesepakatan tentang pilihan politik bangsa bersangkutan tanpa harus mengikuti teori apa pun, apalagi terikat pada apa yang berlaku di negara lain. Prinsipnya, setiap bangsa dapat memilih politiknya sesuai dengan kebutuhan.
MK: Mengawal Konstitusi
            Sebagai kesepakatan “pilihan politik” dari lembaga politik yang berwenang menetapkannya atas nama bangsa, maka konstitusi berposisi sebagai hukum tertinggi. Konstitusi sebagai hukum tertinggi menisbatkan bahwa semua produk hukum di negara ini tidak boleh bertentangan dengan Konstitusi, apalagi melanggarnya. Untuk itu, sangatlah tepat jika pada perubahan UUD 1945 yang lalu muncul gagasan mengenai perlunya suatu lembaga yang berfungsi untuk mengawal konstitusi, sehingga lahirlah Mahkamah Konstitusi (MK).
Sejak awal, MK dibentuk dengan tujuan mengawal supremasi UUD 1945 sebagai hukum dasar (rechtstidee) dan hukum tertinggi (de hoogste wet) di Indonesia. UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah memberi empat kewenangan dan satu kewajiban kepada MK. Empat kewenangan tersebut, yaitu: Pertama, melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD (judicial review); Kedua, memutus sengketa kewenangan lembaga negara; Ketiga, memutus pembubaran partai politik; dan Keempat, memutus perselisihan hasil pemilu. Sedangkan satu kewajibannya adalah memberikan putusan atas pendapat DPR terkait proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
Peran MK dengan judicial review-nya merupakan dorongan untuk terwujudnya konstitusionalitas undang-undang. Melalui mekanisme tersebut, pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh ketentuan suatu undang-undang berpeluang memperoleh kembali hak konstitusionalnya yang terlanggar. Alangkah tak adil dan mengerikan apabila ada UU yang dinilai bertentangan dengan konstitusi, tetapi hanya karena tidak tersedia mekanisme yang dapat ditempuh, maka tidak ada yang bisa dilakukan kecuali patuh dan tunduk. Tanpa adanya mekanisme judicial review, undang-undang yang dibuat DPR dan Pemerintah yang jelas-jelas melanggar kaidah konstitusi dan nyata-nyata mengabaikan hak-hak konstitusionalitas rakyat akan terus bermunculan. Produk hukum demikian hanya akan menjadi etalase perundang-undangan yang tidak akan mampu mencapai tujuan hukum itu sendiri.
Apa itu judicial review? Konsep judicial review berasal dari negara-negara yang menganut prinsip supremasi konstitusi. Istilah judicial review itu sendiri merupakan istilah khas hukum tata negara Amerika Serikat yang artinya wewenang lembaga pengadilan untuk membatalkan setiap tindakan pemerintahan yang bertentangan dengan konstitusi. Menurut Soepomo, di Belanda tidak dikenal istilah judicial review, mereka hanya mengenal istilah hak menguji (toetsingensrecht). Judicial review merupakan mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan tertentu oleh hakim. Pengujian itu dilakukan atas suatu ketentuan peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau terhadap konstitusi sebagai hukum tertinggi.
Mengapa keberadaan judicial review demikian penting? Prinsip utamanya, undang-undang pada dasarnya adalah kristalisasi dari kepentingan-kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, maka patut diduga di dalamnya terdapat muatan kepentingan yang mungkin saja bertentangan atau melanggar kaidah-kaidah konstitusi. Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu peraturan undang-undang yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di atasnya. Untuk itu perlu tersedia mekanisme untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Mekanisme yang disepakati untuk menjalankan fungsi tersebut adalah judicial review yang kewenangannya diberikan kepada MK. Jika oleh MK undang-undang itu kemudian dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu wajib dibatalkan. Konstitusi sebagai hukum tertinggi adalah induk dari semua hukum yang ada di negara. Oleh karena itu, semua produk hukum harus mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Dalam kerangka demikian, tak bisa tidak, politik hukum nasional harus didesain sesuai dengan logika konstitusi.
Melalui kewenangan judicial review yang dimilikinya, MK merupakan lembaga negara yang mengawal politik hukum nasional agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi. MK dengan segenap kewenangannya menjadi ikhwal penting bagi ikhtiar mewujudkan konstitusionalitas Indonesia, sehingga patut dan tidaklah berlebihan jika MK disebut sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution).

***


[1] Makalah disampaikan dalam Acara Orientasi Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan 2009-2014 pada Selasa, 8 September 2009 di Ball Room Hotel Harris Tebet, Jakarta.
[2] Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Kamis, 25 Oktober 2012

makalah


POSISI AL QURAN
SEBAGAI SUMBER HUKUM DALAM KEHIDUPAN
Oleh :
Muhammad Nu’man

 








Dosen Pembimbing :
Drs. Muhamul Khoir. MM

Program Studi Pendidikan Agama Islam ( PAI )
Semester 2 / B

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI ) QOMARUDDIN
SAMPURNAN BUNGAH GRESIK
TAHUN 2011/2012



 KATA PENGANTAR

Assalamualaikum War. Wab.

Puji syukur Alhamdulillah saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan kesempatan kepada saya, sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengana tepat waktu. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuh tugas mata kuliah ulumul quran, selain itu juga untuk bisa dijadikan sebagai bahan wacana buat temen-temen mahasiswa/I mengenai ilmu alquran.
Agama Islam, yang mengandung jalan hidup manusia yang paling sempurna dan memuat ajaran yang menuntun umat manusia kepada kebahagiaan dan kesejahteraan, dapat diketahui dasar¬dasar dan perundang-undangannya melalui Al-Quran. Al-Quran adalah sumber utama dan mata air yang memancarkan ajaran Islam. Hukum-hukum Islam yang mengandung serangkaian pengetahuan tentang akidah, pokok-pokok akhlak dan perbuatan dapat dijumpai sumbernya yang asli dalam ayat-ayat Al-Quran.
Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada :
1. Ketua STAI QOMARUDDIN Bpk. Drs. Moh. Aa’ad Thoha M, Ag.
2. Dosen Ulumul Quran, Bpk. Drs. Mulhamul Khoir
3. Semua yang telah mendukung saya untuk menyelesaikan makalah ini, teman-teman, orang tua dan saudara-saudara saya.

Tidak ada gading yang tak retak, begitu juga makalah yang saya buat ini masih banyak kekurangan baik mengenai pembahasan maupun dalil-dalil yang saya keluarkan. Namun saya berharap semoga tetap makalah ini memberikan manfaat, baik itu untuk temen-temen mahasiswa/i maupun yang lainnya. Dan sangat saya harapkan kritik sekaligus saran yang bersifat membangun untuk lebih baiknya makalah yang telah saya buat ini.

Wassalamualikum. War. Wab
Bungah 5 Juni 2012

                                                     
                                                               Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................................. I
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... II
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... III


BAB I : PENDAHULUAN....................................................................................................... 1
A. Latar Belakang.......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan...................................................................................................... 2
D. Manfaat Penulisan.................................................................................................... 2

BAB II : PEMBAHASAN........................................................................................................ 3
A. Posisi Al Quran sebagai sumber hukum dalam kehidupan........................................ 3

BAB III : PENUTUP............................................................................................................... 10
A. Kesimpulan.............................................................................................................. 10
B. Saran......................................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 11


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
sumber terpenting syariat Islam, yaitu Al-Quran, undang-undang pertama Allah bagi para pemeluk Islam, dan arti penting Al-Quran di dunia Islam. Maka makalah ini secara ringkas membicarakan apa Al-Quran itu ? Apa nilainya bagi kaum Muslimin ? AI-Quran adalah sebuah kitab universal yang abadi; Al-Quran adalah wahyu langit dan bukan merupakan hasil pikiran manusia; Al-Quran dan ilmu pengetahuan; dan sifat-sifat Al-Quran
Al quran memperhatikan 3 hal yaitu manusia mempunyai tujuan yang harus dicapainya dalam perjalanan hidupnya dengan usaha dan perbuatannya, dan dia tidak mungkin mencapai tujuan yang diidam-idamkan itu kecuali dengan mengikuti hukum-hukum dan tata cara tertentu serta keharusan mempelajari hukum-hukum dan tata cata itu dari buku fitrah dan penciptaan, yakni ajatan Allah - juga menentu¬kan jalan hidup bagi manusia sebagai berikut:
AI-Quran mendasarkan jalan itu pada keimanan akan keesaan-¬Nya sebagai dasar pertama agama; Al-Quran menjadikan keimanan kepada akhirat dan Hari Kiamat, yaitu hari ketika orang yang baik dibalas karena kebaikannya dan yang jahat dibalas karena kejahat¬annya, sebagai dasar-kedua agama. Hal ini pada gilirannya membawa kepada keimanan kepada kenabian, karena perbuatan-perbuatan bisa dibalas setelah si pelakunya mengetahui ketaatan dan maksiat, yang baik dan yang buruk. Pengetahuan ini tidak akan dapat diperoleh kecuali melalui wahyu dan kenabian  sebagaimana akan kami rinci nanti. Al-Quran menjadikan keimanan kepada kenabian ini sebagai dasar ketiga agama.
Al-Quran memandang ketiga dasar ini: keimanan kepada keesaan Allah, kenabian dan akhirat sebagai dasar-dasar agama Islam. Setelah itu, Al-Quran menjelaskan pokok-pokok akhlak yang diridhai dan sifat-sifat baik yang sesuai dengan ketiga dasar tersebut, dan setiap orang beriman harus menghiasi diri dengannya. Kemudian AI-Quran menetapkan hukum-hukum perbuatan yang menjamin kebahagiaan hakiki manusia dan menyuburkan akhlak yang utama dan faktor-faktor yang mengantarkannya kepada akidah yang benar dan prinsip-prinsip pokok.
Tidak logis bila kita beranggapan bahwa orang yang bergelimang dalam seks yang diharamkan, mencuri, berkhianat dan curang, adalah suci. Begitu pula, tidak logis bila kita beranggapan bahwa orang yang keterlaluan dalam mencintai harta, mengumpulkan dan menyimpannya, dan tidak mau memenuhi hak-hak orang lain, adalah suci. Tidak logis pula bila kita menganggap orang yang tidak menyembah Allah dan mengingat-Nya siang dan malam, sebagai beriman kepada Allah dan Hari Akhir.Dengan demikian, akhlak yang baik maujud karena adanya perbuatan-perbuatan baik, sebagaimana akhlak yang baik itu ada karena akidah yang benar.
Bahwa Al-Quran mengandung sumber-sumber ketiga dasar Islam, yaitu:
1. Dasar-dasar akidah. Ini terbagi menjadi tiga dasar agama: tauhid, kenabian dan akhirat, dan akidah-akidah yang merupakan cabang darinya, seperti lauh mahfudh, qalam, qadha' dan qadar, malaikat, menghadap Allah, kursi, penciptaan langit dan bumi dan lain-lain.
2.  Akhlak yang diridhai.
3. Hukum-hukum syara' dan perbuatan yang dasar-dasarnya telah dijelaskan Al-Quran, sedangkan penjelasan terincinya diserahkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. Dan Nabi menjadikan penjelasan Ahlul Bait (keluarga)-nya sama dengan penjelasan beliau, sebagaimana diketahui dari hadits tsaqalain yang secara mutawatir diriwayatkan baik oleh kalangan Ahlus Sunnah maupun Syi'ah.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana posisi Al Quran sebagai sumber hukum dalam kehidupan ?
C. Tujuan Pembahasan
a. Untuk menjelaskan tentang Alquran menjadi sumber hukum dalam kehidupan sehari-hari.
D. Manfaat Penulisan
a. Memberikan pemahaman tentang bagaimana Al Quran menjadi Sumber Hukum utama dalam kehidupan ini dan sebagai wacana untuk referensi bagi temen-temen mahasiswa/I, khususnya mahasiswa/i  STAI QOMARUDDIN.




BAB I
PEMBAHASAN


A. Alquran Sebagai Sumber Hukum Dalam Kehidupan
Agama Islam, yang mengandung jalan hidup manusia yang paling sempurna dan memuat ajaran yang menuntun umat manusia kepada kebahagiaan dan kesejahteraan, dapat diketahui dasar-dasar dan perundang-undangannya melalui Al-Quran. Al-Quran adalah sumber utama dan mata air yang memancarkan ajaran Islam. Hukum-hukum Islam yang mengandung serangkaian pengetahuan tentang akidah, pokok-pokok akhlak dan perbuatan dapat dijumpai sumbernya yang asli dalam ayat-ayat Al-Quran. Allah berfirman,
 ¨bÎ) #x»yd tb#uäöà)ø9$# Ïöku ÓÉL¯=Ï9 šÏf ãPuqø%r& çŽÅe³u;ãƒur tûüÏZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# tbqè=yJ÷ètƒ ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ¨br& öNçlm; #\ô_r& #ZŽÎ6x. ÇÒÈ
 Artinya : "Sesungguhnya Al-Quran ini menunjukkan kepada jalan yang lebih lurus." (QS 17:9)
4$uZø9¨tRur šøn=tã |=»tGÅ3ø9$# $YZ»uö;Ï? Èe@ä3Ïj9 &äóÓx« Yèdur ZpyJômuur 3uŽô³ç0ur tûüÏJÎ=ó¡ßJù=Ï9 ÇÑÒÈ
Artinya : "Kami menurunkan AI-Quran kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu." (QS 16:89)
Adalah amat jelas bahwa dalam Al-Quran terdapat banyak ayat yang mengandung pokok-pokok akidah keagamaan, keutamaan akhlak dan prinsip-prinsip umum hukum perbuatan. saya tidak perlu menyebutkan semua ayat itu dalam kesempatan yang tidak cukup luas ini. Lebih lanjut saya katakan bahwa pemikiran yang teliti tentang pokok-pokok permasalahan berikut dapat menjelaskan kepada kita universalitas kandungan Al-Quran mengenai jalan hidup yang harus ditempuh manusia.
Pertama, dalam hidupnya manusia hanya menuju kepada ke-bahagiaan, ketenangan dan pencapaian cita-citanya. Kebahagiaan dan ketenangan merupakan suatu warna khusus di antara warna¬wama kehidupan yang diinginkan oleh manusia, yang di naungannya ia berharap menemukan kemerdekaan, kesejahteraan, kesentosaan dan lain-lain.
Jarang kita lihat orang yang, dengan perbuatan mereka sendiri, memalingkan muka dari kebahagiaan dan kesenangan - seperti melakukan bunuh diri, melukai badan dan menyakiti anggota tubuhnya dan beberapa latihan (riyadhah) berat yang tidak diajarkan agama dengan alasan berpaling dari dunia, dan perbuatan¬perbuatan lain yang menyebabkan seseorang kehilangan berbagai sarana kesejahteraan dan ketenangan hidup. Begitulah, (hanya) orang yang menderita komplikasi jiwa - sebagai akibat dari parahnya komplikasi itu berpendapat bahwa kebahagiaan terdapat dalam perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kebahagiaan. Sebagai contoh, seseorang mengalami kesulitan hidup dan tidak kuat menanggungnya, kemudian bunuh diri karena beranggapan bahwa kesenangan itu terdapat dalam kematian. Atau, sebagian orang menjauhi dunia, menjalani bermacam latihan badan dan mengharamkan kesenangan materiil untuk dirinya sendiri, karena ia berpendapat bahwa hidup dalam kesenangan materi merupakan hidup yang kering. Dengan demikian, usaha yang dilakukan manusia hanyalah untuk menemukan kebahagiaan yang diidam-idamkan yang ia berusaha mewujudkan dan memperolehnya.
Memang, jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut berbeda-beda. Sebagian menempuh jalan yang masuk akal, yang diterima kemanusiaan dan dibolehkan oleh syariat, sedang sebagian yang lain menyalahi jalan yang benar sehingga terperosok ke dalam belantara kesesatan dan menyimpang dari jalan kebenaran.
Kedua, perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia senantiasa berada dalam suatu kerangka peraturan dan hukum tertentu. Hal ini merupakan suatu kebenaran yang tak dapat diingkari, dalam segala keadaan, mengingat begitu jelas dan gamblangnya persoalan. Hal itu disebabkan karena manusia yang mempunyai akal hanya melakukan sesuatu setelah ia menghendakinya. Perbuatannya itu berdasarkan kehendak jiwa yang diketahuinya dengan jelas. Di segi yang lain, ia hanya melakukan apa pun demi dirinya sendiri. Yakni, ia merasakan adanya tuntutan-tuntutan hidup yang harus dipenuhinya, kemudian berbuat untuk memenuhi tuntutan-tuntutan itu untuk dirinya sendiri. Karenanya, antara semua perbuatannya itu ada suatu tali kuat yang menghubungkan sebagiannya dengan yang lain.
Sesungguhnya makan dan minum, tidur dan bangun, duduk dan berdiri, pergi dan datang - semua perbuatan ini dan perbuatan-perbuatan lain yang dilakukan manusia  pada beberapa keadaan, merupakan keharusan baginya; dan pada beberapa keadaan yang lain, tidak merupakan keharusan - yakni, bermanfaat baginya pada suatu saat, dan membahayakan pada saat yang lain. Semua yang dilakukan manusia itu bersumber dari suatu hukum yang ia ketahui universalitasnya dalam dirinya dan yang ia terapkan bagian-bagiannya pada perbuatan dan pekerjaan-pekerjaannya.
Seseorang, dalam perbuatan-perbuatan individualnya, menyerupai suatu pemerintahan lengkap, yang memiliki hukum, kebiasaan dan tata caranya sendiri. Kekuatan aktif dalam pemerintahan itu terlebih dahulu harus menimbang perbuatan-perbuatannya dengan hukum-hukum itu, kemudian barulah ia berbuat. Perbuatan-perbuatan sosial yang dilakukan dalam suatu masyarakat menyerupai perbuatan individual, sehingga padanya berlaku seperangkat hukum dan tata cara yang dipatuhi oleh sebagian besar individu masyarakat itu. Jika tidak, maka anarkisme akan menguasai, dan ikatan sosial mereka pun terpecah.
Memang, corak masyarakat, di bawah pengaruh hukum-hukum yang berlaku dan dominan di dalamnya, berbeda-beda. Seandainya masyarakat itu bcrcorak mazhabiah, maka di dalamnya berlaku ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum mazhab tersebut. Dan bila tidak bercorak mazhabiah, melainkan kebudayaan, maka perbuatan-perbuatan masyarakat itu bercorak hukum kebudayaan tersebut. Adapun jika masyarakat itu liar dan tidak mempunyai kebudayaan, maka padanya berlaku tata pergaulan dan hukum¬hukum individual yang sewenang-wenang, atau hukum-hukum yang dihasilkan oleh adanya perbauran berbagai kepercayaan dan tata pergaulan yang kacau.
Kalau begitu, maka manusia, dalam perbuatan-perbuatan individual dan sosialnya, harus memiliki tujuan tertentu. Untuk mencapai tujuan yang diidam-idamkan itu, ia harus melakukan perbuatan-perbuatannya menurut hukum dan tata cara tertentu yang ditetapkan oleh agama atau masyarakat, atau yang lainnya. Al-Quran sendiri menguatkan teori ini ketika ia mengatakan,
 9e@ä3Ï9ur îpygô_Ír uqèd $pkŽÏj9uqãB ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuŽöyø9$# 4 tûøïr& $tB (#qçRqä3s? ÏNù'tƒ ãNä3Î/ ª!$# $·èŠÏJy_ 4 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ֍ƒÏs% ÇÊÍÑÈ
Artinya : "Tiap-tiap umat memiliki kiblatnya sendiri yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan." (QS 2: 148)
Kata ad-din (agama), menurut kebiasaan Al-Quran berarti 'jalan hidup.' Orang-orang yang beriman dan yang kafir,  sampai-sampai yang tidak mengakui keberadaan Allah sekalipun  pasti memiliki suatu agama, karena setiap orang mengikuti hukum¬hukum tertentu dalam perbuatan-perbuatannya, dan hukum¬hukum itu disandarkan kepada Nabi dan wahyu, atau ditetapkan oleh seseorang atau suatu masyarakat. Tentang musuh-musuh agama Allah, Allah berfirman:
 tûïÏ%©!$# tbrÝÁtƒ `tã È@Î6y «!$# $pktXqäóö7tƒur %[`uqÏã Nèdur ÍotÅzFy$$Î/ tbrãÏÿ»x. ÇÍÎÈ                                                       
Artinya : "Yaitu orang-orang yang menghalangi manusia dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan itu menjadi bengkok. " (QS 7:45)1)
Ketiga, jalan hidup terbaik dan terkuat manusia adalah jalan hidup berdasarkan fitrah, bukan berdasarkan emosi-emosi dan dorongan-dorongan individual atau sosial.
Apabila kita mengamati secara teliti setiap bagian alam, akan kita ketahui bahwa ia memiliki tujuan tertentu, yang sejak hari pertama kejadiannya ia mengarah ke tujuan itu melalui jalan yang terdekat dan terbaik. Ia memiliki sarana yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu. Inilah keadaan semua makhluk di dalam alam ini, baik yang bernyawa maupun yang tidak.
Sebagai contoh adalah biji gandum. Sejak hari pertama diletakkan dalam tanah, ia berjalan dalam proses penyempurnaan. Menghijau dan tumbuh sampai terbentuknya bulir-bulir yang lipatannya berisi banyak biji gandum. Dan ia dibekali dengan sarana-sarana khusus untuk memperoleh unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam proses penyempurnaannya itu. Kemudian ia menyerap unsur-unsur yang ada di dalam tanah, udara dan lain-lainnya dengan kadar ter¬tentu: Lalu ia merekah, menghijau dan tumbuh hari demi hari, dan berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain sampai terbentuknya bulir-bulir baru, yang dalam setiap bulir terdapat banyak biji gandum. Pada saat itulah biji pertama yang disemaikan di bumi benar-benar telah mencapai tujuan yang diidam-idamkannya dan kesempurnaan yang ia tuju. Demikian pula pohon kenari. Jika kita amati secara teliti, akan kita ketahui bahwa pohon itu juga berjalan menuju suatu tujuan tertentu sejak hari pertama kejadiannya. Dan untuk mencapai tujuan itu ia dibekali alat-alat tertentu yang sesuai dengan proses penyempurnaan, kekuatan dan besarnya. Dalam perjalanannya ia tidak menempuh perjalanan yang ditempuh olch gandum, sebagaimana gandum  dalam tingkat-tingkat penyempurnaannya - tidak berproses sebagaimana prosesnya pohon kenari. Masing-masing dari kedua tanaman itu mempunyai perkembangannya sendiri yang tidak akan dilanggarnya untuk selama-lamanya.
Semua yang kita saksikan di dalam alam ini mengikuti kaidah yang berlaku ini, dan tidak ada bukti pasti bahwa manusia me¬nyimpang dari kaidah itu dalam perjalanan alamiahnya menuju tujuan yang ia telah dibekali alat-alat tertentu untuk mencapainya. Bahkan bekal-bekal yang diberikan kepadanya itu merupakan bukti terkuat bahwa dia adalah seperti yang lainnya di alam ini. Dia memiliki tujuan tertentu yang menjamin kebahagiaannya, dan dia telah dilengkapi dengan sarana-sarana untuk mencapainya.
Jadi, fitrah manusia - bahkan fitrah alam yang manusia hanyalah merupakan sebagian darinya - menuntunnya ke arah kebahagiaan hakiki. Fitrah itu mengilhami hukum-hukum terpenting, terbaik dan terkuat yang menjamin kebahagiaannya. Allah ber¬firman:
 tA$s% $uZš/u üÏ%©!$# 4sÜôãr& ¨@ä. >äóÓx« ¼çms)ù=yz §NèO 3yyd ÇÎÉÈ  
Artinya : "Musa berkata: 'Tuhan kami ialah Zat yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberi¬nya petunjuk'." (QS 20:50)
Ï%©!$# t,n=y{ 3§q|¡sù ÇËÈ Ï%©!$#ur u£s% 3yygsù ÇÌÈ
Artinya : "Yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan)¬Nya. Yang memberikan ketentuan dan petunjuk." (QS 87:2-3)
 <§øÿtRur $tBur $yg1§qy ÇÐÈ $ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢yŠ ÇÊÉÈ
Artinya :"Demi jiwa dan Penyempurnanya. Kemudian Allah mem-beritahukan kefasikan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya." (QS 91:7-10)
 óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ
Artinya :"Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah. Tetapilah fitrah Allah yang la telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. ltulah agama yang lurus. " (QS 30:30)
 ¨bÎ) šúïÏe$!$# yYÏã «!$# ÞO»n=óM}$# 3 ÇÊÒÈ
Artinya : "Sesungguhnya agama yang diterima Allah adalah lslam. (QS 3:19)
 `tBur Æ÷tGö;tƒ uŽöxî ÄN»n=óM}$# $YYƒÏŠ `n=sù Ÿ@t6ø)ムçm÷YÏB uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ƒÌÅ¡»yø9$# ÇÑÎÈ
Artinya : "Barangsiapa rnencari agarna selain lslarn, maka tidak akan di-terima. " (QS 3:85)
Kesimpulan dati ayat-ayat ini dan ayat-ayat lain yang ber¬kandungan sama, yang tidak kami sebutkan secara ringkas, adalah bahwa Allah menuntun setiap makhluk-Nya - termasuk manu¬sia - kepada tujuan dan kebahagiaan puncak yanq merupakan tujuan diciptakannya mereka. Dan jalan yang benar bagi manusia ialah jalan fitrahnya. Maka dalarn perbuatan-perbuatannya manu¬sia harus terikat dengan hukum-hukum individu dan sosial yang bersumber dari fitrahnya, dan tidak boleh secara membuta meng¬ikuti hawa nafsu, emosi, kecenderungan dan keinginannya. Konsekuensi dari agama fitrah (alamiah) adalah manusia tidak boleh menyia-nyiakan bekal-bekal yang diberikan kepadanya. Bahkan setiap bekal harus dimanfaatkan dalam batas-batasnya dan secara benar, agar potensi-potensi yang ada dalam dirinya seimbang, dan agar satu potensi tidak mematikan potensi yang lain.
Selanjutnya manusia harus dikuasai oleh akal sehat yang jauh dari kesalahan, bukan oleh tuntutan-tuntutan diri yang bersumber dari emosi yang menyalahi akal. Beqitu pula, yang menguasai masyarakat haruslah kebenaran dan yang benar-benar bermanfaat baginya, bukan orang kuat yang sewenang-wenang dan mengikuti hawa nafsu dan keinginan-keinginannya. Bukan pula mayoritas yang menyimpang dari kebenaran dan kemaslahatan umum.
Pembahasan di atas juga menunjukkan hahwa yang berhak membuat dan memberlakukan hukum hanyalah Allah saja, dan tak seorang pun berhak membuat dan memberlakukan hukum dan memutuskan segala perkara, karena pembahasan di atas menun¬jukkan bahwa jalan hidup dan hukum yang bermanfaat bagi manu¬sia dalam kehidupannya adalah yang diilhami fitrahnya. Yakni hukum dan jalan hidup yang dituntut oleh sebab-sebab dan faktor-¬faktor batiniah dan lahiriah dalam fitrahnya. Hal ini berarti sesuai dengan kehendak Allah. Pengertian "sesuai dengan kehendak Allah" adalah bahwa Allah telah menempatkan pada diri manusia sebab-sebab dan faktor-faktor yang mengakibatkan adanya perundanq-undangan dan jalan hidup.
Kadang-kadang, sebab-sebab dan faktor-faktor itu mengambil bentuk pemaksaan sebagai dasar bagi suatu proses, seperti peris¬tiwa-peristiwa alam yang terjadi setiap hari. Inilah yanq dinamakan kemauan alam (iradah takwiniah), Kadanq-kadang juga sesuatu aksi dilakukan secara bebas dan berdasarkan kehendak, seperti makan, minum dan lain-lain, yang dalam hal ini kehendak diatur oleh hukum Allah (iradah tasyri'iah). Allah berfirman:
4 ÈbÎ) ãNõ3ßÛø9$# žwÎ) ¬! 4 ÇÍÉÈ
Artinya :"Tidak ada hukum selain milik Allah." (QS 12:40 dan 67)










BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
A.  Seseorang, dalam perbuatan-perbuatan individualnya, menyerupai suatu pemerintahan lengkap, yang memiliki hukum, kebiasaan dan tata caranya sendiri. Kekuatan aktif dalam pemerintahan itu terlebih dahulu harus menimbang perbuatan-perbuatannya dengan hukum-hukum itu, kemudian barulah ia berbuat. Perbuatan-perbuatan ocial yang dilakukan dalam suatu masyarakat menyerupai perbuatan individual, sehingga padanya berlaku seperangkat hukum dan tata cara yang dipatuhi oleh sebagian besar individu masyarakat itu. Jika tidak, maka anarkisme akan menguasai, dan ikatan ocial mereka pun terpecah. Adapun jika masyarakat itu liar dan tidak mempunyai kebudayaan, maka padanya berlaku tata pergaulan dan hukum¬hukum individual yang sewenang-wenang, atau hukum-hukum yang dihasilkan oleh adanya perbauran berbagai kepercayaan dan tata pergaulan yang kacau. Kalau begitu, maka manusia, dalam perbuatan-perbuatan individual dan sosialnya, harus memiliki tujuan tertentu. Untuk mencapai tujuan yang diidam-idamkan itu, ia harus melakukan perbuatan-perbuatannya menurut hukum dan tata cara tertentu yang ditetapkan oleh agama atau masyarakat, atau yang lainnya. Al-Quran sendiri menguatkan teori ini
B. Saran
A.  Sebagai seorang mahasiswa/I tentunya harus mengetahui banyak tentang Al Quran, yang didalamnya banyak tergandung sumber hukum bagi kehidupan sehari-hari. Maka dari itu disaranka agar  teman – teman mahasiswa/I  memahami berbagai wacana dan referensi mengenai hal-hal semacam ini dengan tujuan untuk menunjang keilmuannya dan juga menunjang kefahamannya terhadap hukum-hukum yang ada sekarang.




DAFTAR PUSTAKA

AL Quran
Bucaille, Mariece.1979.Quran dan Modern.Jakarta : BINTANG
Abdullah, Rehailly.1999.Bukti kebenaran Alquran.Jakarta :
Azmi, Muhammad.2000.Sejarah Alquran.Jakarta :