Sabtu, 26 Januari 2013

tradisi pesantren

ASAL USUL TRADISI KEILMUAN
DI PESANTREN

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas UAS mata kuliah tradisi Pesantren



Oleh :
Muhammad Nu’man
Nim : 201159112712














Dosen Tradisi Pesantren :
 M. Alimin, SH. MH.


Program Pendidikan Agama Islam ( PAI )


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI ) QOMARUDDIN
SAMPURNAN BUNGAH GRESIK



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai lembaga pendidikan yang memiliki ciri-cirinya sendiri, pesantren memiliki tradisi keilmuannya yang berbeda dari tradisi keilmuan lembaga-lembaga lain. Walaupun hal ini mungkin tidak begitu disadari selama ini, bagaimanpun juga terpdapat perbedaan yang mendasar antara manifestasi keilmuan pesantren dan manifestasi keilmuan di lembaga – lembaga pendidikan islam lainnya diseluruh dunia islam. Pesantren pada dasarnya adalah sebuah lembaga pendidikan islam, walaupun ia mempunyai fungsi tambahan yang tidak kalah pentingnya dengan fungsi pendidikan tersebut.
Pesantren merupakan sarana informasi, sarana komunikasi timbal balik secara kultural dengan masyarakat, dan juga merupakan tempat pemupukan solidaritas masyarakat. Karena watak utamanya sebagai lembaga pendidikan Islam, dengan sendirinya pesantren memiliki tradisi keilmuan sendiri yang berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya.
Akan tetapi, tradisi ini mengalami perkembangan dari masa kemasa dan menampilkan manifestasi yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Walau demikian, masih dapat ditelusuri beberapa hal inti yang tetap merupakan tradisi keilmuan pesantren sejak datangnya Islam ke Indonesia hingga saat ini. Kesemuanya itu menunjuk kesebuah asal usul yang bersifat historis, yang merupakan pendorong utama bagi berkembangnya pesantren itu sendiri.
Pesantren dalam wujudnya yang sekarang memiliki system pengajaran yang dikenal dengan nama pengajian kitab kuning. Selain itu, pesantren juga mampu menyerap sejumlah inovasi  secara  berangsur – angsur selama beberapa abad. Atas dasar kemampuan yang kenyal seperti itu untuk tetap hidup, maka pesantren memiliki keunggulannya sendiri yang tidak ada ditempat pendidikan lain.
Pesantren memiliki system nilainya sendiri, yang jauh berbeda dari apa yang terdapat diluarnya. System nilai itu mendukung sebuah sikap hidup yang tersendiri pula, yang sedikit banyak  mempengaruhi perkembangan kurikulum pendidikannya. Sistem nilai itu menopang berkembangnya fungsi kemasyarakatan pesantren, yaitu sebagai alat transformasi kultural masyarakat diluarnya secara total. Transformasi yang dilakukan pesantren atas kehidupan masyarakat diluarnya itu dimulai dari perbaikan kehidupan moral dilingkungan sekelilingnya, akhirnya menjadikan pesantren untuk membawa masayarakat pada manifestasi penghayatan dan pengamalan ajaran agama secara penuh.
Hakikat konsep penyebaran pengetahuan, yang berdasarkan pada ketaatan penuh terhadap kandungan kitab-kitab kuning klasik, kini menghadapi tantangan dengan adanya fakta bahwa pengetahuan agama dapat dipelajari dengan menggunakan berbagai macam cara belajar termasuk penggunaan terjemahan langsung atas kitab-kitab kuning kedalam bahasa nasional atau setempat.
Secara edukasional, peran kitab-kitab klasik yang lazim disebut kitab kuning, adalah memberikan informasi kepada para santri bukan hanya mengenai warisan yurisprudensi dimasa lampau atau tentang jalan terang untuk mencapai hakikat ubudiyah kepada tuhan, namun juga mengenai peran-peran kehidupan dimasa depan bagi suatu masyarakat.
Elemen dasar, yaitu literature universal yang dipelihara dan diajarkan dari generasi kegenerasi selama berabad-abad, secara langsung salah satunya berkaitan dengan kitab-kitab klasik dan kiai, bila dilihat dari sudut pandang masa kini menjamin keberlangsungan “tradisi yang benar” dalam rangka melestarikan ilmu pengetahuan agama sebagaimana ditinggalkan kepada masyarakat islam oleh para imam besar masa lalu. Ini adalah satu cara untuk menjaga  standar tertinggi ilmu pengetahuan agama yang diraih dimasa depan. Hanya dengan cara ini masyarakat Islam mampu menjaga kemurnian ajaran-ajaran agamanya. Demikianlah posisi utama konsep ahl as sunnah bagi pesantren hingga kini.
B. Rumusan Masalah
A. Bagaimana Asal usul tradisi keilmuan yang ada dipesantren ?
C. Tujuan Pembahasan
A. Menjelaskan Tentang asal usul tradisi keilmuan yang ada dipesantren.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Asal Usul Tradisi Keilmuan di Pesantren
Asal usul tradisi keilmuan di pesantren dapat dilihat pada perkembangan ilmu-ilmu keislaman sejak pesantren ada dalam masyarakat Islam yang pertama. Salah satu watak utama dari Islam adalah tekanan yang berat sekali pada aspek pendidikan. Sebagaimana dapat dlihat pada sejumlah sumber motivatif, seperti ayat Al-quran dan hadits yang menggambarkan pentingnyaarti ilmu bagi Islam dalam pandangan Allah dan dalam Pandangan nabi Muhammad.
Atas dasar itulah maka islam telah mengembangkan suatu perangkat keilmuannya sendiri sejak masa dini dari sejarahnya yang panjang, terbukti dengan adanya kelompok-kelompok yang telah melakukan spesialisasi. Bahkan sejak masa pertama Madinah, kita kenal adanya orang yang ahli dalam penafsiran Al-quran. Mereka adalah orang-orang yang memperlakukan Al-quran dan hadits sebagai objek ilmu, bukannya sekadar sebagai wadah pengalaman semata saja.
Seperti yang dilakukan oleh khalifah Usman bin Affan yang dikenal sebagai orang yang saleh, yang senantiasa membaca alquran sampai hatam dalam waktu yang pendek secara priodik. kesalehan seperti itu pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak ilmiah, tetapi merupakan pengalaman pada wataknya, justru ditangan para ilmuan agama pemumalah seperti pada saat adanya para penghafal Al-quran, para penafsir Al-quran dan para penjaga hukum agama itulah terbentuk suatu tradisi keilmuan pada tarafnya yang dini.
 Kita lihat umpamanya saja belum satu abad setelah nabi wafat, telah muncul sebuah kelompok yang dikenal sebagai al-fuqoha as-sab’ah ( para ahli fiqh yang tujuh ) yang merupakan para ahli fiqh terkemuka dalam bidang hukum ( fiqh ) di Makkah dan Madinah, termasuk diantaranya adalah Rabi’ah dan Anas mereka merupakan peletak dasar ilmu-ilmu agama yang akhirnya berujung pada tradisi madzhab fiqh.
Ketika ilmu – ilmu islam berkembang ditangan para ahli agama yang mengkhususkan diri pada Al-quran dan hadits itu maka terasa adanya suatu kebutuhan untuk mengembangkan tradisi keilmuan yang tidak hanya bertumpu pada Alquran dan hadits semata, yaitu apa yang dikatakan kajian bahasa ( dirosah lughowiyah ). Kajian dan penelitian dibidang bahasa dilakukan oleh para ulama muslim yang agung, bahkan para ulama muslim yang agung, bahkan para ahli hukum agama seperti Imam Syafii justru dikenal sebagai ahli bahasa yang benar untuk bahasa arab. Pendalaman pengetahuan tentang bahasa dan kajian linguistik seperti itu atas bahasa Arab, akhirnya menampilkan kebutuhan akan penguasaan kategori ilmu  oleh filsuf yunani dan masa-masa setelah itu hingga kemasa abad pertengahan, dimana para sarjana muslim hidup.
Atas dasar pemekaran dan pendalaman seperti itu maka banyak sekali para ulama islam yang saleh pada masa abad ke-2 dan ke-3 hijriah, bahkan seterusnya sampai beberapa abad kemudian, merupakan humanis, dalam arti mampu menguasai ilmu – ilmu utama yang dikenal oleh peradaban hellenis yang berada diTimur tengah pada waktu itu. Mereka mengambil dari luar dan menundukkan apa yang mereka ambil dan serap itu pada tolak ukur pengertian harfi atas ayat- ayat Alquran dan hadits-hadits nabi. Kombinasi dari humanisme seperti itu dan kecendrungan normatif untuk tettap memperlakukan kitab Alquran dan hadits sebagai sumber formal, dengan sendirinya lalu memunculkan adanya satu sikap yang unik. Disatu pihak mereka merupakan sarjana yang mempunyai reputasi ilmu yang hebat, namun ddari segi lain mereka tetap manusia-manusiayang taat beribadah kepada Allah dan tidak luntur keimanan mereka dihadapan penyerapan yang begitu masif dari peradaban-peradaban lain.
Inilah yang sebenarnya merupakan asal-usul dari tradisi keilmuan dipesantren, nama-nama besar seperti Al-Khalil ibn Ahmad Al-Farahidi sebagai penulis kamus arab yang pertama, selain itu ahli-ahli bahasa dan para sastrawan seperti Abdul Abbas al-Mubarid  telah mampu menghasilkan karya-karya raksasa seperti alkamil yang merupakan buku pengolahan pertama dalam bahasa arab tentang kritik sastra, yang sebagian dari timbangan-timbangan yang digunakannya masih juga berlaku hingga hari ini  dalam sastra arab modern. Demikian juga terdapat para ensiklopedis yang tidak tanggung-tanggung kelasnya, seperti Ibnu Qutaibah ad-Diwari yang menulis karya agung bernama kitab Al-Ma’arif  yang tidak lain merupakan ensiklopedi pertama dalam bahasa Arab.
Ini semua menujukkan mekarnya humanism dalam artian yang luas, yang sanggup mengemban kehausan manusia akan ilmu pengetahuan, kemampuan menyerap ilmu secara masif, mampu menggunakan ilmu itu kesejahtraan bersama dan untuk meluaskan wawasan dan pandangan hidup mereka, namun pada saat yang sama juga tetap pada norma-norma semula yang mereka yakini. Keseimbangan seperti inilah yang merupakan humanism yang sebenarnya, yang pernah menjadi sendi dari peradaban islam yang agung.
Akan tetapi, semua itu berangsung-angsur menjadi kendur, ketika kendala normatif akhirnya menjadi terlalu besar fungsinya, sedangkan kendala penyerapan dari luar dikalahkan oleh pengawasan, dan penyerapan dari luar dikalahkan oleh pengawasan dari dalam. Akhirnya yang ada hanyalah tinggal ilmu-ilmu yang normatif, yang tidak memberikan tempat dan perhatian pada kebutuhan penciptaan rasionalitas ilmiah yang tersendiri dan independen  dari pengendalian oleh skolatisisme. Inilah yang merupakan asal-usul tradisi keilmuan di Pesantren.
Fiqih Sufistik
Tradisi keilmuan islam diPesantren bersumber pada dua gelombang pengetahuan keislaman yang datang kekawasan nusantara dalam abad ke-13 Masehi, bersamaan dengan masuknya islam keindonesia dalam lingkup yang luas, dan gelombang yang kedua ketika para ulama kawasan nusantara menggali ilmu disemenanjung Arabia, khususnya di Makkah dan kembali setelah itu ketanah Air untuk mendirikan pesantren-pesantren besar. Kedua gelombang inilah yang menjadi sumber dari tradisi keilmuan islam berkembang diPesantren.
  Pada gelombang pertama yang datang dan mask keIndonesia, manifestasi keilmuan islam yang datang adalah dalam bentuk tasawwuf dan ilmu-ilmunya yang tentu juga tidak lepas dari ilmu-ilmu syariah pada umunya,  fiqh memang dipelajari, tauhid demikian juga dan tentu saja alat-alat bantu dalam bentuk bahasa Arab, juga ada ilmu hadits, tafsir, akhlaq dan ilmu-illmu lain yang ada dikawasan Timur Tengah waktu itu. Masa abad ke-13 itu Islam datang ke Indonesia sudah dalam bentuk yang dikembangkan di Persia dan kemudian di Anak benua India yang berorientasi sangat kuat pada tasawuf. Oleh karena itulah kita dapati bahwa tasawuf adalah orientasi yang menentukan corak keilmuan dan watak tradisi keilmuan di Pesantren pada saat itu. Buku-buku tasawuf yang menggabungkan fiqh dengan amal-amal akhlaq merupakan bahan pelajaran utama. Diantaranya adalah bidayatul hidayah dari Imam Ghozali yang merupakan fiqh sufistik paling menonjol selama berabad-abad, bahkan sampai abad ini dipesantren. Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang sejak abad-13 yaitu selama 7 abad ia berkembang diPesantren, manifestasi keilmuan yang seperti ini bertumpang tindih dengan pandangan-pandangan dan prilaku mistik orang jawa atau penduduk setempat.
Demikian juga ia bertumpang tindih dengan perkembangan beberapa aliran tasawuf yang menyimpang dari ortodoksi, seperti faham wahdaniyah atau wahdat al-wujud. Hal itu dapat kita jumpai Abdur Rouf Singkel dan beberapa tokoh lain dari masa itu. Perdebatan antara ar-Raniry dan gurunya yang menghasilkan ”pemurnian” ajaran tasawuf diAceh pada abad ke-16, menujukkan jelas bahwa manifestasi fiqf sufistik telah merasuki keseluruhan kehidupan ilimiah orang muslim. Waktu itu yang dipentingkan adalah pendalaman Akhlak dalam bentuk pengamalannya secara tuntas dan pendalaman pemahaman sufistik pada kehidupan.
Demikian pula kalau diingat sampai hari ini, muncul ungkapan-ungkapan dalam bahasa Indonesia seperti insan kamil yang merupakan judul karya utama sufi al-Jilly. Dari situ jelas sekali bahwa kata telah terpantul dalam kehidupan pesantren selama berabad-abad dan kemudian terpantul dengan bahasa Indonesia tanpa merasa canggung lagi, padahal tidak dimengerti akar katanya. Bahkan didalam manifestasi kehidupan kelompok-kelompok pembaru sekalipun, seperti gerakan Muhammadiyah, pengaruh tasawuf dalam bentuk akhlak. Atau Akhlak sifat ini yang sangat kuat seperti dibuktikan oleh seorang Antropologi jepang, Mitsuo Nakamura, dalam satu tulisannya, demikian besarnya cekaman itu sehingga sulit dibedakan antara penganut sufi bertorikot dengan warga gerakan pembaru yang berakhlak tanpa mengikuti salah satu  torekot. Kenyataan ini membuktikan berapa luasnya jasngkaun fiqih sufistik yang mengarah pada akhlak muslim Indonesia dalam  kehidupan kaum muslimin dan betapa dalam akarnya.
Cakrawala Baru
Namun di Abad ke-19 terjadi perubahan secara berangsur-angsur, akibat semakin berkembang dan meningkatnya perekonomian santri sehingga banyak anak-anak mereka menuntut ilmu di Timur Tengah untuk mendalami ilmu-ilmu agama disemenanjung Arabia. Mereka ini membawakan orientasi baru pada manifestasi keilmuan di lingkungan pesantren yaitu orientasi pendalaman ilmu fiqh secara tuntas. Perdebatan mengenai hukum agama dilakukan dengan serius, tidak hanya melakukan kajian terhadap kitab fiqh yang besar-besar melainkan juga dengan alat bantunya.
Gelombang kedua dari sumber keilmuan yang diikuti oleh tradisi keilmuan dipesantren ini menampakkan diri secara jelas didalam karya-karya besar ulama Indonesia, seperti sabil al muhtadin dari tuan guru Arsyad Banjar, nur azh Zhalam dari kiai Nawawi Banten. Dsb, merekalah yang memperkenalkan pendalaman bahasa Arab beserta cabang ilmunya dipesantren sehingga muncul kebangkitan humanis ilmu-ilmu keislaman yang terpendam selama berabad-abad lamanya. Bahwa seorang ulama fiqh dan hadits seperti KH. Hasyim Asy’ari memerlukan untuk meninjau secara mendalam buku-buku seperti nuzhat al-Alibba ini menunjukkan dengan jelas bahwa pendalaman yang dilakukan akhirnya membaa pemekaran cakrawala mereka hingga membuat para ulama meninjau kehidupan ini secara lebih bulat dan lebih tuntas, tidak hanya aspek akhlak saja yang dipentingkan atau dengan kata lain aspek pengalaman hukum, melainkan juga pemekaran pengertian tentang kehidupan dan tentang hakikat manusia itu sendiri.
Pemekaran pun terjadi juga dengan sendirinya pada pandangan mereka tentang kehidupan bermasyarakat. Jadi, inilah yang merupakan hasil yang sangat positif yang dibawa para ulama Indonesia yang mengalami pendidikan di Timur Tengah pada abad ke-19, terutama tahun-tahun akhir abad itu. Berdasarkan adanya perkembangan itu maka di Pesantren terjadi suatu keadaan dimana peningkatan fiqh sufistik disuatu fihak dan dipihak lain pendalaman ilmu fiqh itu sendiri melalui bermaacam-macam alat bantu. Muncullah nama-nama orang yang dianggap pandai dan mendalami ilmu agamanya, bukan hanya dari segi amaliahnya, dan bukan dari segi besarnya pengikut tarekat yang dimilikinya, serta bukan karena tempanya dalam hirarki ketarekatan di Indonesia, melainkan karena pengetahuan perorangnya mengenai ilmu-ilmu agama yang sudah mencapai batas sangat tinggi.
Namun berbeda dengan ulama didaerah lain, terutama di Timur Tengah para ulama yang menamakan diri sebagai ulama syariat, iru tetap saja berpegang pada akhlaq sufistik yang telah berkembang selama berabad-abad di Indonesia. Dari sinilah kita masih melihat kegemaran “kiai fiqh” untuk mengajarkan kitab fiqh sufistik dan kitab sejenisnya, bahkan juga sangat banyak kitab akhlak murni yang diikuti dan dikembangkan. Dari sisnilah bersumber asal usul tradisi keilmuan Islam di Pesantren. Disatu pihak kita melihat adanya kitab-kitab fiqh yang mendalam dengan penguasaan alat bantu yang sangat mengagumkan tetap diajarkan dipesantren. Lebih jauh dari itu diajarkan pula penggunaan referensi fiqh yang berukuran raksasa seperti majmu’, yang merupakan komentar atas kitab Al Muhadzadzab.
Penjagaan kualitas fqih itu dilakukan sedemikian rupa hingga tercapai standarisasi dalam penggunaan kitab dasar fiqh, yaotu taqrib yang terkenal itu. Demikian juga kajian kitab yang pendek tetapi sangaat sulit dibaca, seperti tahrir tetap dilakukan di Pesantren. Alat bantunya juga mengalami perkembangan pesat, diantara alat bantu yang terkenal ialah tafsir semacam jalalain, ibn katsir, Khazin, bahkan tafsir qosimi yang 16 jilid dan tafsir Thabari yang 30 jilid masih juga diajarkan terutama di beberapa pesantren utama. Kitab-kitab hadits tidak dicukupkan hanya pada Al-Bukhori dan Muslim, Melainkan juga berlanjut pada Syarh Al-Bukhori yang bermacam-macam dan tebal-tebal. Syarh Muslim dari Imam Nawawi dan Kaylani sebagai komentar atau syarh atas Bukhori,  demikian juga yang lain-lain merupakan bacaan yang berkembang luas di pesantren-pesantren selama ini.
Pendalaman ilmu-ilmu bahasa Arab sebagai ilmu bantu untuk fiqh merupakan sesuatu yang mengagumkan, bahkan bagi ulama Timur Tengah, karena hingga hari ini bacaan dan penguasaan atas gramatika ini merupakan keunggulan ulama-ulama Indonesia dipesantren atas ulama-ulama Timur Tengah. Ini terbukti terusn sampai hari ini. Penguasaan atas gamatika klasikal bahasa arab ini merupakan modal utama para kiai pesantren dalam percaturan ilmiah dunia Islam. Diboidang ilmu tauhid pun demikian yang terjadi, dari kiotab yang sederhana. Seperti jauharah al-Tauhid dan Aqidat al-Awwam hingga pada kitab yang rumit seperti kitab Al-Arbain karangan Imam Ramlit terjadi pendalaman ilmu tauhid yang tidak tanggung-tanggung, termasuk diantaranya kitab Umm Al-Barahin dan Syarh-nya, dasuqi. Begitu terkenalnya nama dasuqi ini sehingga akhirnya menjadi nama yang umum bagi anak-anak yang lahir di Indonesia
Dengan demikian bahwa penguasaan atas ilmu-ilmu keislaman dalam arti pendalaman yang menuju pada penguasaan fiqh merupakan sesuatu yang khas pesantren di Indonesia. Namun pada saat yang sama tradisi tersebut tidak melupakan sisi lain, yaitu fiqh-sufistik yang merupakan topangan tradisi keilmuan Islam sebelum abad ke-19, dimana bukan perdalaman ilmu dalam arti penguasaan untuk berargumentasi, melainkan pengalaman ilmu yang menjadi ukuran utama. Atas dasar pengamatan ini dapat disimpulkan bahwa tradisi keilmuan di Pesantren memiliki asal usul yang kuat, yaitu di satu segi berasal dari perkembangan tasawuf masa lampau dan segi yang lain pada pendalaman ilmu-ilmu fiqh melalui penguasaan atas alat-alat bantunya.
Demikianlah uraian singkat ini, mencoba mengungkapkan asal usul tradisi keilmuan yang ada dipesantren, yang menghasilkan sesuatu yang unik yang jarang didapati di dunia Islam manapun saat ini. Dan hasilnya pun sangat mengagumkan, dalam kitab Manahij al-Imdad karangan Imam Al Ghozali ini terbukti kemampuan ulama di pesantren untuk mengkombinasikan antara kemampuan mandalami ilmu-ilmu agama secara tuntas sekaligus mengamalkan tasawuf secara tuntas pula. Alangkah sayang kalau asal usul ini dilupakan, dan kita hanya terbuai oleh sebuah pendekatan yang dangkal yang hanya melihat pada pentingnya satu sisi saja. Terpulang pada pesantren dimasa depanlah untuk mencari aplikasi baru dari kedua kecendrungan yang telah diserap oleh tradisi keilmuan islam dipesantren selama ini.
  










  
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
a.       Asal usul tradisi keilmuan di pesantren dapat dilihat pada perkembangan ilmu-ilmu keislaman sejak pesantren ada dalam masyarakat Islam yang pertama. Salah satu watak utama dari Islam adalah tekanan yang berat sekali pada aspek pendidikan. Sebagaimana dapat dlihat pada sejumlah sumber motivatif, seperti ayat Al-quran dan hadits yang menggambarkan pentingnyaarti ilmu bagi Islam dalam pandangan Allah dan dalam Pandangan nabi Muhammad. Atas dasar itulah maka islam telah mengembangkan suatu perangkat keilmuannya sendiri sejak masa dini dari sejarahnya yang panjang, terbukti dengan adanya kelompok-kelompok yang telah melakukan spesialisasi.
 Berdasarkan adanya perkembangan itu maka di Pesantren terjadi suatu keadaan dimana peningkatan fiqh sufistik disuatu fihak dan dipihak lain pendalaman ilmu fiqh itu sendiri melalui bermaacam-macam alat bantu. Muncullah nama-nama orang yang dianggap pandai dan mendalami ilmu agamanya, bukan hanya dari segi amaliahnya, dan bukan dari segi besarnya pengikut tarekat yang dimilikinya, serta bukan karena tempanya dalam hirarki ketarekatan di Indonesia, melainkan karena pengetahuan perorangnya mengenai ilmu-ilmu agama yang sudah mencapai batas sangat tinggi.

B. Saran
a. Sebagai seorang mahasiswa/i  yang beranaung dibawah pesantren , Maka disarankan agar  teman – teman mahasiswa/I  memahami dan  tahu berbagai wacana dan referensi mengenai hal-hal semacam ini dengan tujuan untuk menunjang keilmuannya dan juga menunjang kefahamannya terhadap serangan dan masalah yang akan dihadapi zaman sekarang dan dikemudian hari dan juga untuk melestarikan tradisi keilmuan yang ada dipesantren.

DAFTAR PUSTAKA

Abdur Rahman wahid, Menggerakkan Tradisi. 2010, Yogyakarta : LKIS



Tidak ada komentar:

Posting Komentar