TAFSIR QURAN SURAT AR RUM AYAT 41
( Kerusakan di Dunia )
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu
Tafsir
Oleh :
Muhammad Nu’man
Dosen
Pembimbing :
Drs.
H. Mulhamul Khoir, MM
Program
Studi Pendidikan Agama Islam
Semester
3 / B
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI )
QOMARUDDIN
SAMPURNAN BUNGAH GRESIK
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dewasa ini, banyak kita jumpai tindak-tindak pengrusakan yang
dilakukan oleh orang-orang yang tak bertanggungjawab. Hal ini, jelas sangat
merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Karena pengrusakan-pengrusakan
tersebut lebih banyak dampak negatif dan bahayanya daripada keuntungannya. Tak
ayal, hal ini menyebabkan orang lain resah. Penebangan hutan, pengeboman
sungai/laut serta tindakan kriminal lainnya seperti pembunuhan, perampokan, tawuran
dan yang lainnya telah merajalela di bumi..
Telah
banyak terjadi bencana alam yang kita alami seperti banjir, tanah longsor,
puting beliung bahkan tsunami. Hal ini merupakan teguran dari Allah agar kita
semua, terutama orang-orang yang telah berbuat kerusakan agar segera bertaubat
dan kembali pada jalan yang benar dengan cara melakukan perbaikan-perbaikan
setelah mereka melakukan pengrusakan. Karena Allah Maha Adil, ketika Dia
memberi peringatan tidak hanya perusak saja yang merasakannya, akan tetapi orang
lain pun terkena imbasnya.
Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Quran kepada hamba-hamba-Nya sebagai petunjuk sekaligus peringatan.
Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Quran kepada hamba-hamba-Nya sebagai petunjuk sekaligus peringatan.
Termasuk ayat 41 dari surat Ar-Rum ini merupakan peringatan bagi
hamba-hamba-Nya yang suka berbuat kerusakan agar segera kembali pada jalan yang
benar. Semoga hadirnya makalah ini bermanfaat dalam menambah pengetahuan para
pembaca, dan semoga kita semua termasuk hamba-hamba-Nya yang muslih sekaligus
senantiasa mendapat hidayah dari Allah SWT.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tafsir q.s. Ar Rum ayat 41 dijelaskan dari berbagai
perspektif ilmu tafsir ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan tentang tafsir q.s. Ar rum ayat 41
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Tafsir q.s Ar rum
ayat 41
Surat Ar rum ayat 41
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَ الْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ
اَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ
يَرْجِعُوْن
Artinya : "Telah nyata kerusakan di darat dan di laut dari sebab perbuatan tangan manusia, supaya mereka deritakan setengah dari apa yang mereka kerjakan, mudah-mudahan mereka kembali."
Artinya : "Telah nyata kerusakan di darat dan di laut dari sebab perbuatan tangan manusia, supaya mereka deritakan setengah dari apa yang mereka kerjakan, mudah-mudahan mereka kembali."
Kata
ظهر "zhahara" pada mulanya
berarti terjadinya sesuatu di permukaan bumi. Sehingga, karena dia di
permukaan, maka menjadi nampak dan terang sehingga diketahui dengan jelas.
Lawannya adalah بطن
"bathana" yang berarti terjadinya sesuatu di perut bumi, sehingga
tidak nampak. Kata zhahara pada ayat di atas diartikan dalam arti banyak dan
tersebar.
Kata الفساد "al-fasad" menurut Al-Ashfani adalah keluarnya sesuatu dari keseimbangan, baik sedikit maupun banyak. Kata ini digunakan menunjuk apa saja, baik jasmani, jiwa maupun hal-hal lain. Ia juga diartikan sebagai antonym dari الصلاة "ash-shalah" yang berarti manfaat atau berguna. Beberapa ulama' kontemporer memahaminya dalam arti kerusakan lingkungan, karena ayat di atas mengaitkan fasad tersebut dengan kata darat dan laut.
ظهر الفساد في البر (Telah nampak kerusakan di darat) disebabkan terhentinya hujan dan menipisnya tumbuh-tumbuhan – و البحر (dan laut) maksudnya di negeri-negeri yang banyak sungainya menjadi kering. بما كسبت ايدي الناس (disebabkan perbuatan tangan manusia) berupa perbuatan-perbuatan maksiat – ليذيقهم (supaya Allah merasakan kepada mereka) sebagai hukumannya. لعلهم يرجعون (agar mereka kembali) supaya mereka bertobat dari perbuatanperbuatan maksiat.
Kata الفساد "al-fasad" menurut Al-Ashfani adalah keluarnya sesuatu dari keseimbangan, baik sedikit maupun banyak. Kata ini digunakan menunjuk apa saja, baik jasmani, jiwa maupun hal-hal lain. Ia juga diartikan sebagai antonym dari الصلاة "ash-shalah" yang berarti manfaat atau berguna. Beberapa ulama' kontemporer memahaminya dalam arti kerusakan lingkungan, karena ayat di atas mengaitkan fasad tersebut dengan kata darat dan laut.
ظهر الفساد في البر (Telah nampak kerusakan di darat) disebabkan terhentinya hujan dan menipisnya tumbuh-tumbuhan – و البحر (dan laut) maksudnya di negeri-negeri yang banyak sungainya menjadi kering. بما كسبت ايدي الناس (disebabkan perbuatan tangan manusia) berupa perbuatan-perbuatan maksiat – ليذيقهم (supaya Allah merasakan kepada mereka) sebagai hukumannya. لعلهم يرجعون (agar mereka kembali) supaya mereka bertobat dari perbuatanperbuatan maksiat.
Ayat
Ar-Rum 41 merupakan salah satu ayat yang menerangkan tentang
kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh manusia di bumi. Sebenarnya ayat ini
merupakan teguran dari Allah kepada para hamba-Nya yang berbuat kerusakan di
bumi, agar mereka kembali ke jalan yang lurus.
Allah telah mengirimkan manusia ke atas bumi ini ialah untuk menjadi khalifah Allah, yang berarti pelaksana dari kemauan Tuhan. Untuk mewujudkan posisi manusia sebagai khalifah, Allah membekalinya dengan akal fikiran yang merupakan pembeda manusia dari makhluk lainnya dan yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dari makhluk lainnya.
Allah telah mengirimkan manusia ke atas bumi ini ialah untuk menjadi khalifah Allah, yang berarti pelaksana dari kemauan Tuhan. Untuk mewujudkan posisi manusia sebagai khalifah, Allah membekalinya dengan akal fikiran yang merupakan pembeda manusia dari makhluk lainnya dan yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dari makhluk lainnya.
Dengan
akal fikirannya manusia mempunyai potensi/ kemampuan untuk mengelola apa-apa
yang ada di bumi untuk kesejahteraan dirinya. Banyaklah rahasia kebesaran dan
kekuasaan Ilahi menjadi jelas dalam dunia, karena usaha menusia. Sebab itu,
maka menjadi khalifah hendaklah muslih, berarti suka memperbaiki dan
memperindah.
Di
samping itu perlu disadari bahwa akan selain akal, manusia pun diberi hawa
nafsu yang bertolak belakang dengan akal pikirannya. Dengan nafsunya ini,
manusia cenderung untuk melakukan apa saja untuk memenuhi keinginannya tanpa
mempedulikan orang lain di sekitarnya. Termasuk pengrusakan-pengrusakan yang
terjadi di muka bumi ini, baik di darat maupun di laut merupakan
dorongan-dorongan dari hawa nafsu manusia.
Ayat di atas menyebut darat dan laut sebagai tempat terjadinya fasad itu. Ini berarti daratan dan laut menjadi arena kerusakan, misalnya dengan terjadinya pembunuhan dan perampokan di kedua tempat itu. Dan dapat berarti juga bahwa darat dan laut sendiri telah mengalami kerusakan, ketidakseimbangan serta kekurangan manfaat. Laut telah tercemar, sehingga ikan mati dan hasil laut berkurang. Daratan semakin panas sehingga terjadi kemarau panjang. Alhasil, keseimbangan lingkungan menjadi kacau.
Ayat di atas menyebut darat dan laut sebagai tempat terjadinya fasad itu. Ini berarti daratan dan laut menjadi arena kerusakan, misalnya dengan terjadinya pembunuhan dan perampokan di kedua tempat itu. Dan dapat berarti juga bahwa darat dan laut sendiri telah mengalami kerusakan, ketidakseimbangan serta kekurangan manfaat. Laut telah tercemar, sehingga ikan mati dan hasil laut berkurang. Daratan semakin panas sehingga terjadi kemarau panjang. Alhasil, keseimbangan lingkungan menjadi kacau.
Sayyid
Quthb dalam tafsirnya menjelaskan keterkaitan kondisi-kondisi kehidupan dengan
usaha mereka, juga menjelaskan bahwa kerusakan hati manusia serta akidah dan
amal mereka akan menghasilkan kerusakan di bumi dan memenuhi daratan dan
lautan. Tampilnya kerusakan seperti itu, takkan terjadi tanpa adanya sebab. Ia
merupakan hasil dari hukum-hukum Allah serta pengaturan-Nya. Kerusakan di
bumi bermula ketika Qabil membunuh saudaranya, Habil. Hal ini menunjukkan bahwa
kedengkian, iri hati dan dorongan-dorongan nafsu lainnya bisa menimbulkan
kerusakan di bumi. Dewasa ini, banyak kita jumpai kejadian serupa pembunuhan
telah merajalela, tidak perlu siapakah korbannya, walaupun itu adalah saudara
bahkan orangtuanya sendiri.
Kadang
kita termenung kagum memikirkan ayat ini. Sebab ia bisa saja ditafsirkan sesuai
dengan perkembangan zaman sekarang ini. Misalnya tentang kerusakan yang terjadi
di darat karena bekas perbuatan manusia, ialah asap dari zat-zat pembakar,
minyak tanah, bensin, solar dan sebagainya. Bagaimana bahaya dari asap-asap
pabrik yang besar bersama asap kendaraan yang digunakan manusia untuk bepergian
kemana-mana. Udara kotor yang telah dihisap setiap saat, sehingga paru-paru
manusia penuh kotoran.
Kemudian diperhitungkan pula kerusakan yang terjadi di lautan. Air laut yang rusak karena air tangki yang besar membawa bahan bakar (minyak tanah ataupun bensin) pecah di laut. Demikian pula air dari pabrik-pabirk kimia yang mengalir melalui sungai menuju lautan, lama kelamaan kian banyak. Hingga air laut penuh racun yang mengakibatkan ikan-ikan mati.
Kemudian diperhitungkan pula kerusakan yang terjadi di lautan. Air laut yang rusak karena air tangki yang besar membawa bahan bakar (minyak tanah ataupun bensin) pecah di laut. Demikian pula air dari pabrik-pabirk kimia yang mengalir melalui sungai menuju lautan, lama kelamaan kian banyak. Hingga air laut penuh racun yang mengakibatkan ikan-ikan mati.
Kerusakan
lainnya yang dapat kita jumpai, di darat adalah pengrusakan terhadap
tumbuh-tumbuhan. Banyak kita temukan tangan-tangan jahil yang tak
bertanggungjawab menebangi pohon-pohon yang ada di hutan hanya untuk
mendapatkan keunutngan sepihak, yakni untuk dirinya sendiri. Akibatnya hutan
menjadi gundul dan bila hujan tiba, tanah tidak mampu menyerap air. Sehingga
terjadi banjir yang berimbas pula pada orang lain. Selain itu, penebangan hutan
akan merusak ekosistem yang ada di dalamnya. Hewan-hewan menjadi resah karena
tidak ada pepohonan untuk dijadikan tempat tinggal sekaligus sumber makanan
bagi mereka.
Begitu juga pengrusakan-pengrusakan yang ada di laut.
Begitu juga pengrusakan-pengrusakan yang ada di laut.
Contoh
kongkret yang sering kita temui, di antaranya adalah pembuangan limbah-limbah
perusahaan tanpa penyaringan terlebih dahulu. Selain itu, pengambilan ikan yang
tidak memperhatikan etika yang baik. Banyak sekali manusia (nelayan) mengambil
ikan dengan cara yang kasar sekali, yakni dengan menggunakan bom ikan. Hal ini
akan berimbas pada pengrusakan ekosistem di dalam laut, yakni pengrusakan
terumbu karangyang memperindah laut. Sebenarnya telah
banyak peringatan-peringatan untuk para perusak agar kembali kepada jalan yang
benar. Namun sayangnya, para perusak sering mengabaikan peringatan tersebut
karena lebih dikuasai oleh hawa nafsunya. Bahkan yang lebih parah, mereka telah
menyadari akan perbuatannya dan bersikukuh bahwa dirinya adalah termasuk orang
yang melakukan perbaikan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat
Al-Baqarah ayat 11-12 :
Yang
Artinya : "Dan apabila dikatakan kepada mereka: Janganlah berbuat
kerusakan di bumi ! Mereka menjawab, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang
melakukan perbaikan. Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan,
tetapi mereka tidak menyadari."
Abul 'Aliah berkata : Barangsiapa mendurhakai Allah di muka bumi. Maka ia telah membuat kerusakan di muka bumi, karena perbaikan di langit dan di bumi adalah dengan ketaatan kepada Allah.
Abul 'Aliah berkata : Barangsiapa mendurhakai Allah di muka bumi. Maka ia telah membuat kerusakan di muka bumi, karena perbaikan di langit dan di bumi adalah dengan ketaatan kepada Allah.
Dosa
dan pelanggaran (fasad) yang dilakukan manusia, mengakibatkan gangguan
keseimbangan di darat dan di laut. Sebaliknya, ketiadaan keseimbangan di darat
dan di laut, mengakibatkan siksaan kepada manusia. Semakin banyak dan beraneka
ragam dosa manusia, semakin parah pula kerusakan lingkungan. Hakekat ini
merupakan kenyataan yang tak dapat dipungkiri, lebih-lebih dewasa ini. Memang
Allah menciptakan semua makhluk saling berkaitan. Dalam keterkaitan itu, lahir
keserasian dan keseimbangan dari yang terkecil hingga yang terbesar, dan semua
tunduk dalam pengaturan Allah. Bila terjadi gangguan pada keharmonisan dan
keseimbangan itu, maka kerusakan akan terjadi dan pasti berdampak pada seluruh
bagian alam, termasuk manusia, baik yang merusak maupun yang merestui
pengrusakan itu.
Untuk
kembali menyadarkan mereka, Allah mencicipkan sedikit akibat dari perbuatan
mereka. Seperti banjir, atau bahkan kekeringan yang berkepanjangan dan banyak
lagi bencana-bencana alam yang ditimpakan kepada manusia yang merupakan
sebagian akibat dari perbuatan pengrusakan yang telah mereka lakukan di muka
bumi. Allah tidak memandang orang per-seorang, akan tetapi Ia mencicipkan
musibah tersebut kepada orang di sekelilingnya (pelaku).
Ayat
di atas mengisyaratkan bahwa kerusakan yang terjadi dapat berdampak buruk.
Tetapi, rahmat Allah masih menyentuh manusia, karena Dia baru mencicipkan bukan
menimpakan kepada mereka (akibat kerusakan yang telah mereka perbuat). Di sisi
lain, dampak tersebut baru akibat sebagian dosa mereka. Dosa yang lain boleh
jadi diampuni Allah dan boleh juga ditangguhkan siksanya ke hari yang
lain. Dan maksud dari ditimpakannya sebagian musibah kepada
manusia adalah agar mereka sadar dan kembali. Sebagaimana termaktub dalam
penghujung surat ini : "Mudah-mudahan mereka kembali". Arti kembali
itu tentu sangat dalam. Bukan maksudnya mengembalikan jarum sejarah ke
belakang. Melainkan kembali menilik diri dari mengoreksi niat, kembali
memperbaiki hubungan dengan Tuhan. Jangan hanya ingat akan keuntungan diri
sendiri, lalu merugikan orang lain. Jangan hanya ingat laba yang sebentar
dengan merugikan sesam. Tegasnya, kita harus meninggalkan kerusakan di muka
bumi. Dengan ujung ayat "Mudah-mudahan", dinampakkan bahwa harapan
belum putus.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Dari penjelasan di
atas, nyata sudah perbuatan-perbuatan manusia yang ditimbulkan oleh dorongan
hawa nafsu, yang memikirkan keuntungan dirinya sendiri akan cenderung
mengakibatkan pengrusakan-pengrusakan, baik yang terjadi darat maupun di laut.
Penggundulan hutan, pengeboman ikan dan lain-lain akan berakibat rusaknya
sistem keseimbangan dan keserasian alam.
Hal
ini berdampak kerugian bagi manusia. Sebab, pada hakekatnya Allah menciptkan
segala sesuatu di dunia ini, saling berkesinambungan dari yang terkecil sampai
yang terbesar. Dan apabila keharmonisan/ keserasian ini mengalami
ketidakstabilan, maka besar/ kecil hal ini akan berdampak pada seluruh penghuni
bumi, termasuk manusia.
Oleh karena itu, Allah mencoba memperingatkan manusia dengan
mencicipkan sebagian akibat dari pengrusakan tersebut. Hal ini ditujukan untuk
menyadarkan manusia dari apa yang telah mereka perbuat. Setelah itu, manusia
akan terketuk hatinya untuk meninggalkan pengrusakan-pengrusakan tersebut dan
memperbaikinya dengan taat kepada Allah dan melakukan perbaikan-perbaikan
kembali. Karena pada dasarnya kebaikan dapat menghapus kejelekan, sebagaimana
sabda Nabi Muhammad SAW :
إِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَ اتَّبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَ خَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Artinya : "Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada, dan ikutilah keburukan dengan kebaikan karena ia akan menghapuskannya. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik."
إِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَ اتَّبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَ خَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Artinya : "Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada, dan ikutilah keburukan dengan kebaikan karena ia akan menghapuskannya. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik."
B.
Saran
1.
Sebagai seorang mahasiswa/I tentunya harus mengetahui banyak tentang Al Quran, yang didalamnya banyak tergandung
kebenaran dan pokok kandungan. Maka dari itu disaranka agar teman – teman mahasiswa/I memahami berbagai wacana dan referensi
mengenai hal-hal semacam ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Hamka, Prof. Dr.
Tafsir Al-Azhar Juz XXI-XXII, Pustaka Panjimas, Jakarta 2006. Jalaluddin,
Al-Mahalli, ett-all Tafsir Jalalain, Sinar Baru Algensindo,
Bandung, 2006. ( Online )
Katsier, Ibnu, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, PT. Bina Ilmu, Surabaya 1990. ( Online )
Quthb, Sayyid, Tafsir fi Zhilalil Quran, Gema Insani Press, Jakarta, 2002. ( Online )
Katsier, Ibnu, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, PT. Bina Ilmu, Surabaya 1990. ( Online )
Quthb, Sayyid, Tafsir fi Zhilalil Quran, Gema Insani Press, Jakarta, 2002. ( Online )
Shihab, Quraish,
Tafsir Al-Mishbah, Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2002. ( Online )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar