ASAL USUL TRADISI
KEILMUAN
DI PESANTREN
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas UAS mata kuliah
tradisi Pesantren
Oleh :
Muhammad Nu’man
Nim : 201159112712
Dosen Tradisi Pesantren :
M. Alimin,
SH. MH.
Program Pendidikan Agama Islam ( PAI )
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI )
QOMARUDDIN
SAMPURNAN BUNGAH GRESIK
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai lembaga pendidikan yang memiliki
ciri-cirinya sendiri, pesantren memiliki tradisi keilmuannya yang berbeda dari
tradisi keilmuan lembaga-lembaga lain. Walaupun hal ini mungkin tidak begitu
disadari selama ini, bagaimanpun juga terpdapat perbedaan yang mendasar antara
manifestasi keilmuan pesantren dan manifestasi keilmuan di lembaga – lembaga
pendidikan islam lainnya diseluruh dunia islam. Pesantren pada dasarnya adalah
sebuah lembaga pendidikan islam, walaupun ia mempunyai fungsi tambahan yang
tidak kalah pentingnya dengan fungsi pendidikan tersebut.
Pesantren merupakan sarana informasi, sarana
komunikasi timbal balik secara kultural dengan masyarakat, dan juga merupakan
tempat pemupukan solidaritas masyarakat. Karena watak utamanya sebagai lembaga
pendidikan Islam, dengan sendirinya pesantren memiliki tradisi keilmuan sendiri
yang berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya.
Akan tetapi, tradisi ini mengalami perkembangan dari
masa kemasa dan menampilkan manifestasi yang berubah-ubah dari waktu ke waktu.
Walau demikian, masih dapat ditelusuri beberapa hal inti yang tetap merupakan
tradisi keilmuan pesantren sejak datangnya Islam ke Indonesia hingga saat ini.
Kesemuanya itu menunjuk kesebuah asal usul yang bersifat historis, yang
merupakan pendorong utama bagi berkembangnya pesantren itu sendiri.
Pesantren dalam wujudnya yang sekarang memiliki
system pengajaran yang dikenal dengan nama pengajian kitab kuning. Selain itu,
pesantren juga mampu menyerap sejumlah inovasi secara
berangsur – angsur selama beberapa abad. Atas dasar kemampuan yang
kenyal seperti itu untuk tetap hidup, maka pesantren memiliki keunggulannya
sendiri yang tidak ada ditempat pendidikan lain.
Pesantren memiliki system nilainya sendiri, yang
jauh berbeda dari apa yang terdapat diluarnya. System nilai itu mendukung
sebuah sikap hidup yang tersendiri pula, yang sedikit banyak mempengaruhi perkembangan kurikulum
pendidikannya. Sistem nilai itu menopang berkembangnya fungsi kemasyarakatan
pesantren, yaitu sebagai alat transformasi kultural masyarakat diluarnya secara
total. Transformasi yang dilakukan pesantren atas kehidupan masyarakat
diluarnya itu dimulai dari perbaikan kehidupan moral dilingkungan
sekelilingnya, akhirnya menjadikan pesantren untuk membawa masayarakat pada
manifestasi penghayatan dan pengamalan ajaran agama secara penuh.
Hakikat konsep penyebaran pengetahuan, yang
berdasarkan pada ketaatan penuh terhadap kandungan kitab-kitab kuning klasik,
kini menghadapi tantangan dengan adanya fakta bahwa pengetahuan agama dapat
dipelajari dengan menggunakan berbagai macam cara belajar termasuk penggunaan
terjemahan langsung atas kitab-kitab kuning kedalam bahasa nasional atau
setempat.
Secara edukasional, peran kitab-kitab klasik yang
lazim disebut kitab kuning, adalah memberikan informasi kepada para
santri bukan hanya mengenai warisan yurisprudensi dimasa lampau atau tentang
jalan terang untuk mencapai hakikat ubudiyah kepada tuhan, namun juga
mengenai peran-peran kehidupan dimasa depan bagi suatu masyarakat.
Elemen dasar, yaitu literature universal
yang dipelihara dan diajarkan dari generasi kegenerasi selama berabad-abad,
secara langsung salah satunya berkaitan dengan kitab-kitab klasik dan kiai,
bila dilihat dari sudut pandang masa kini menjamin keberlangsungan “tradisi
yang benar” dalam rangka melestarikan ilmu pengetahuan agama sebagaimana
ditinggalkan kepada masyarakat islam oleh para imam besar masa lalu. Ini adalah
satu cara untuk menjaga standar
tertinggi ilmu pengetahuan agama yang diraih dimasa depan. Hanya dengan cara
ini masyarakat Islam mampu menjaga kemurnian ajaran-ajaran agamanya.
Demikianlah posisi utama konsep ahl as sunnah bagi pesantren hingga
kini.
B. Rumusan Masalah
A.
Bagaimana Asal usul tradisi keilmuan yang ada dipesantren ?
C. Tujuan Pembahasan
A.
Menjelaskan Tentang asal usul tradisi keilmuan yang ada dipesantren.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal Usul Tradisi Keilmuan di
Pesantren
Asal usul tradisi keilmuan di pesantren dapat
dilihat pada perkembangan ilmu-ilmu keislaman sejak pesantren ada dalam
masyarakat Islam yang pertama. Salah satu watak utama dari Islam adalah tekanan
yang berat sekali pada aspek pendidikan. Sebagaimana dapat dlihat pada sejumlah
sumber motivatif, seperti ayat Al-quran dan hadits yang menggambarkan pentingnyaarti
ilmu bagi Islam dalam pandangan Allah dan dalam Pandangan nabi Muhammad.
Atas dasar itulah maka islam telah mengembangkan
suatu perangkat keilmuannya sendiri sejak masa dini dari sejarahnya yang
panjang, terbukti dengan adanya kelompok-kelompok yang telah melakukan
spesialisasi. Bahkan sejak masa pertama Madinah, kita kenal adanya orang yang
ahli dalam penafsiran Al-quran. Mereka adalah orang-orang yang memperlakukan
Al-quran dan hadits sebagai objek ilmu, bukannya sekadar sebagai wadah pengalaman
semata saja.
Seperti yang dilakukan oleh khalifah Usman bin Affan
yang dikenal sebagai orang yang saleh, yang senantiasa membaca alquran sampai
hatam dalam waktu yang pendek secara priodik. kesalehan seperti itu pada
dasarnya adalah sesuatu yang tidak ilmiah, tetapi merupakan pengalaman pada
wataknya, justru ditangan para ilmuan agama pemumalah seperti pada saat adanya
para penghafal Al-quran, para penafsir Al-quran dan para penjaga hukum agama
itulah terbentuk suatu tradisi keilmuan pada tarafnya yang dini.
Kita lihat
umpamanya saja belum satu abad setelah nabi wafat, telah muncul sebuah kelompok
yang dikenal sebagai al-fuqoha as-sab’ah ( para ahli fiqh yang tujuh )
yang merupakan para ahli fiqh terkemuka dalam bidang hukum ( fiqh ) di Makkah
dan Madinah, termasuk diantaranya adalah Rabi’ah dan Anas mereka merupakan
peletak dasar ilmu-ilmu agama yang akhirnya berujung pada tradisi madzhab fiqh.
Ketika ilmu – ilmu islam berkembang ditangan para
ahli agama yang mengkhususkan diri pada Al-quran dan hadits itu maka terasa
adanya suatu kebutuhan untuk mengembangkan tradisi keilmuan yang tidak hanya
bertumpu pada Alquran dan hadits semata, yaitu apa yang dikatakan kajian bahasa
( dirosah lughowiyah ). Kajian dan penelitian dibidang bahasa dilakukan
oleh para ulama muslim yang agung, bahkan para ulama muslim yang agung, bahkan
para ahli hukum agama seperti Imam Syafii justru dikenal sebagai ahli bahasa
yang benar untuk bahasa arab. Pendalaman pengetahuan tentang bahasa dan kajian
linguistik seperti itu atas bahasa Arab, akhirnya menampilkan kebutuhan akan
penguasaan kategori ilmu oleh filsuf
yunani dan masa-masa setelah itu hingga kemasa abad pertengahan, dimana para
sarjana muslim hidup.
Atas dasar pemekaran dan pendalaman seperti itu maka
banyak sekali para ulama islam yang saleh pada masa abad ke-2 dan ke-3 hijriah,
bahkan seterusnya sampai beberapa abad kemudian, merupakan humanis, dalam arti
mampu menguasai ilmu – ilmu utama yang dikenal oleh peradaban hellenis yang
berada diTimur tengah pada waktu itu. Mereka mengambil dari luar dan
menundukkan apa yang mereka ambil dan serap itu pada tolak ukur pengertian
harfi atas ayat- ayat Alquran dan hadits-hadits nabi. Kombinasi dari humanisme
seperti itu dan kecendrungan normatif untuk tettap memperlakukan kitab Alquran
dan hadits sebagai sumber formal, dengan sendirinya lalu memunculkan adanya
satu sikap yang unik. Disatu pihak mereka merupakan sarjana yang mempunyai
reputasi ilmu yang hebat, namun ddari segi lain mereka tetap
manusia-manusiayang taat beribadah kepada Allah dan tidak luntur keimanan
mereka dihadapan penyerapan yang begitu masif dari peradaban-peradaban lain.
Inilah yang sebenarnya merupakan asal-usul dari
tradisi keilmuan dipesantren, nama-nama besar seperti Al-Khalil ibn Ahmad
Al-Farahidi sebagai penulis kamus arab yang pertama, selain itu ahli-ahli
bahasa dan para sastrawan seperti Abdul Abbas al-Mubarid telah mampu menghasilkan karya-karya raksasa
seperti alkamil yang merupakan buku pengolahan pertama dalam bahasa arab
tentang kritik sastra, yang sebagian dari timbangan-timbangan yang digunakannya
masih juga berlaku hingga hari ini dalam
sastra arab modern. Demikian juga terdapat para ensiklopedis yang tidak
tanggung-tanggung kelasnya, seperti Ibnu Qutaibah ad-Diwari yang menulis karya
agung bernama kitab Al-Ma’arif yang tidak lain merupakan ensiklopedi pertama
dalam bahasa Arab.
Ini semua menujukkan mekarnya humanism dalam artian
yang luas, yang sanggup mengemban kehausan manusia akan ilmu pengetahuan,
kemampuan menyerap ilmu secara masif, mampu menggunakan ilmu itu kesejahtraan
bersama dan untuk meluaskan wawasan dan pandangan hidup mereka, namun pada saat
yang sama juga tetap pada norma-norma semula yang mereka yakini. Keseimbangan seperti
inilah yang merupakan humanism yang sebenarnya, yang pernah menjadi sendi dari
peradaban islam yang agung.
Akan tetapi, semua itu berangsung-angsur menjadi
kendur, ketika kendala normatif akhirnya menjadi terlalu besar fungsinya,
sedangkan kendala penyerapan dari luar dikalahkan oleh pengawasan, dan
penyerapan dari luar dikalahkan oleh pengawasan dari dalam. Akhirnya yang ada
hanyalah tinggal ilmu-ilmu yang normatif, yang tidak memberikan tempat dan
perhatian pada kebutuhan penciptaan rasionalitas ilmiah yang tersendiri dan
independen dari pengendalian oleh skolatisisme.
Inilah yang merupakan asal-usul tradisi keilmuan di Pesantren.
Fiqih
Sufistik
Tradisi keilmuan islam diPesantren bersumber pada
dua gelombang pengetahuan keislaman yang datang kekawasan nusantara dalam abad
ke-13 Masehi, bersamaan dengan masuknya islam keindonesia dalam lingkup yang
luas, dan gelombang yang kedua ketika para ulama kawasan nusantara menggali
ilmu disemenanjung Arabia, khususnya di Makkah dan kembali setelah itu ketanah
Air untuk mendirikan pesantren-pesantren besar. Kedua gelombang inilah yang
menjadi sumber dari tradisi keilmuan islam berkembang diPesantren.
Pada
gelombang pertama yang datang dan mask keIndonesia, manifestasi keilmuan islam
yang datang adalah dalam bentuk tasawwuf dan ilmu-ilmunya yang tentu juga tidak
lepas dari ilmu-ilmu syariah pada umunya, fiqh memang dipelajari, tauhid demikian
juga dan tentu saja alat-alat bantu dalam bentuk bahasa Arab, juga ada ilmu hadits,
tafsir, akhlaq dan ilmu-illmu lain yang ada dikawasan Timur Tengah waktu
itu. Masa abad ke-13 itu Islam datang ke Indonesia sudah dalam bentuk yang
dikembangkan di Persia dan kemudian di Anak benua India yang berorientasi
sangat kuat pada tasawuf. Oleh karena itulah kita dapati bahwa tasawuf adalah
orientasi yang menentukan corak keilmuan dan watak tradisi keilmuan di
Pesantren pada saat itu. Buku-buku tasawuf yang menggabungkan fiqh dengan
amal-amal akhlaq merupakan bahan pelajaran utama. Diantaranya adalah bidayatul
hidayah dari Imam Ghozali yang merupakan fiqh sufistik paling menonjol
selama berabad-abad, bahkan sampai abad ini dipesantren. Dalam perjalanan
sejarahnya yang panjang sejak abad-13 yaitu selama 7 abad ia berkembang
diPesantren, manifestasi keilmuan yang seperti ini bertumpang tindih dengan
pandangan-pandangan dan prilaku mistik orang jawa atau penduduk setempat.
Demikian juga ia bertumpang tindih dengan
perkembangan beberapa aliran tasawuf yang menyimpang dari ortodoksi, seperti
faham wahdaniyah atau wahdat al-wujud. Hal itu dapat kita jumpai
Abdur Rouf Singkel dan beberapa tokoh lain dari masa itu. Perdebatan antara
ar-Raniry dan gurunya yang menghasilkan ”pemurnian” ajaran tasawuf diAceh pada
abad ke-16, menujukkan jelas bahwa manifestasi fiqf sufistik telah merasuki
keseluruhan kehidupan ilimiah orang muslim. Waktu itu yang dipentingkan adalah
pendalaman Akhlak dalam bentuk pengamalannya secara tuntas dan pendalaman
pemahaman sufistik pada kehidupan.
Demikian pula kalau diingat sampai hari ini, muncul
ungkapan-ungkapan dalam bahasa Indonesia seperti insan kamil yang
merupakan judul karya utama sufi al-Jilly. Dari situ jelas sekali bahwa kata
telah terpantul dalam kehidupan pesantren selama berabad-abad dan kemudian
terpantul dengan bahasa Indonesia tanpa merasa canggung lagi, padahal tidak
dimengerti akar katanya. Bahkan didalam manifestasi kehidupan kelompok-kelompok
pembaru sekalipun, seperti gerakan Muhammadiyah, pengaruh tasawuf dalam bentuk
akhlak. Atau Akhlak sifat ini yang sangat kuat seperti dibuktikan oleh seorang
Antropologi jepang, Mitsuo Nakamura, dalam satu tulisannya, demikian besarnya
cekaman itu sehingga sulit dibedakan antara penganut sufi bertorikot dengan
warga gerakan pembaru yang berakhlak tanpa mengikuti salah satu torekot. Kenyataan ini membuktikan berapa
luasnya jasngkaun fiqih sufistik yang mengarah pada akhlak muslim Indonesia
dalam kehidupan kaum muslimin dan betapa
dalam akarnya.
Cakrawala
Baru
Namun di Abad ke-19 terjadi perubahan secara
berangsur-angsur, akibat semakin berkembang dan meningkatnya perekonomian santri
sehingga banyak anak-anak mereka menuntut ilmu di Timur Tengah untuk mendalami
ilmu-ilmu agama disemenanjung Arabia. Mereka ini membawakan orientasi baru pada
manifestasi keilmuan di lingkungan pesantren yaitu orientasi pendalaman ilmu
fiqh secara tuntas. Perdebatan mengenai hukum agama dilakukan dengan serius,
tidak hanya melakukan kajian terhadap kitab fiqh yang besar-besar melainkan
juga dengan alat bantunya.
Gelombang kedua dari sumber keilmuan yang diikuti
oleh tradisi keilmuan dipesantren ini menampakkan diri secara jelas didalam
karya-karya besar ulama Indonesia, seperti sabil al muhtadin dari tuan
guru Arsyad Banjar, nur azh Zhalam dari kiai Nawawi Banten. Dsb,
merekalah yang memperkenalkan pendalaman bahasa Arab beserta cabang ilmunya
dipesantren sehingga muncul kebangkitan humanis ilmu-ilmu keislaman yang
terpendam selama berabad-abad lamanya. Bahwa seorang ulama fiqh dan hadits
seperti KH. Hasyim Asy’ari memerlukan untuk meninjau secara mendalam buku-buku
seperti nuzhat al-Alibba ini menunjukkan dengan jelas bahwa pendalaman
yang dilakukan akhirnya membaa pemekaran cakrawala mereka hingga membuat para
ulama meninjau kehidupan ini secara lebih bulat dan lebih tuntas, tidak hanya
aspek akhlak saja yang dipentingkan atau dengan kata lain aspek pengalaman
hukum, melainkan juga pemekaran pengertian tentang kehidupan dan tentang
hakikat manusia itu sendiri.
Pemekaran pun terjadi juga dengan sendirinya pada
pandangan mereka tentang kehidupan bermasyarakat. Jadi, inilah yang merupakan
hasil yang sangat positif yang dibawa para ulama Indonesia yang mengalami
pendidikan di Timur Tengah pada abad ke-19, terutama tahun-tahun akhir abad
itu. Berdasarkan adanya perkembangan itu maka di Pesantren terjadi suatu
keadaan dimana peningkatan fiqh sufistik disuatu fihak dan dipihak lain
pendalaman ilmu fiqh itu sendiri melalui bermaacam-macam alat bantu. Muncullah
nama-nama orang yang dianggap pandai dan mendalami ilmu agamanya, bukan hanya
dari segi amaliahnya, dan bukan dari segi besarnya pengikut tarekat yang
dimilikinya, serta bukan karena tempanya dalam hirarki ketarekatan di
Indonesia, melainkan karena pengetahuan perorangnya mengenai ilmu-ilmu agama
yang sudah mencapai batas sangat tinggi.
Namun berbeda dengan ulama didaerah lain, terutama
di Timur Tengah para ulama yang menamakan diri sebagai ulama syariat, iru tetap
saja berpegang pada akhlaq sufistik yang telah berkembang selama
berabad-abad di Indonesia. Dari sinilah kita masih melihat kegemaran “kiai
fiqh” untuk mengajarkan kitab fiqh sufistik dan kitab sejenisnya, bahkan juga
sangat banyak kitab akhlak murni yang diikuti dan dikembangkan. Dari sisnilah
bersumber asal usul tradisi keilmuan Islam di Pesantren. Disatu pihak kita
melihat adanya kitab-kitab fiqh yang mendalam dengan penguasaan alat bantu yang
sangat mengagumkan tetap diajarkan dipesantren. Lebih jauh dari itu diajarkan
pula penggunaan referensi fiqh yang berukuran raksasa seperti majmu’,
yang merupakan komentar atas kitab Al Muhadzadzab.
Penjagaan kualitas fqih itu dilakukan sedemikian
rupa hingga tercapai standarisasi dalam penggunaan kitab dasar fiqh, yaotu
taqrib yang terkenal itu. Demikian juga kajian kitab yang pendek tetapi sangaat
sulit dibaca, seperti tahrir tetap dilakukan di Pesantren. Alat bantunya juga
mengalami perkembangan pesat, diantara alat bantu yang terkenal ialah tafsir
semacam jalalain, ibn katsir, Khazin, bahkan tafsir qosimi
yang 16 jilid dan tafsir Thabari yang 30 jilid masih juga
diajarkan terutama di beberapa pesantren utama. Kitab-kitab hadits tidak
dicukupkan hanya pada Al-Bukhori dan Muslim,
Melainkan juga berlanjut pada Syarh Al-Bukhori yang bermacam-macam dan
tebal-tebal. Syarh Muslim dari Imam Nawawi dan Kaylani sebagai komentar
atau syarh atas Bukhori, demikian
juga yang lain-lain merupakan bacaan yang berkembang luas di
pesantren-pesantren selama ini.
Pendalaman ilmu-ilmu bahasa Arab sebagai ilmu bantu
untuk fiqh merupakan sesuatu yang mengagumkan, bahkan bagi ulama Timur Tengah,
karena hingga hari ini bacaan dan penguasaan atas gramatika ini merupakan
keunggulan ulama-ulama Indonesia dipesantren atas ulama-ulama Timur Tengah. Ini
terbukti terusn sampai hari ini. Penguasaan atas gamatika klasikal bahasa arab
ini merupakan modal utama para kiai pesantren dalam percaturan ilmiah dunia
Islam. Diboidang ilmu tauhid pun demikian yang terjadi, dari kiotab yang
sederhana. Seperti jauharah al-Tauhid dan Aqidat al-Awwam hingga
pada kitab yang rumit seperti kitab Al-Arbain karangan Imam Ramlit
terjadi pendalaman ilmu tauhid yang tidak tanggung-tanggung, termasuk
diantaranya kitab Umm Al-Barahin dan Syarh-nya, dasuqi. Begitu terkenalnya
nama dasuqi ini sehingga akhirnya menjadi nama yang umum bagi anak-anak
yang lahir di Indonesia
Dengan demikian bahwa penguasaan atas ilmu-ilmu
keislaman dalam arti pendalaman yang menuju pada penguasaan fiqh merupakan
sesuatu yang khas pesantren di Indonesia. Namun pada saat yang sama tradisi
tersebut tidak melupakan sisi lain, yaitu fiqh-sufistik yang merupakan topangan
tradisi keilmuan Islam sebelum abad ke-19, dimana bukan perdalaman ilmu dalam
arti penguasaan untuk berargumentasi, melainkan pengalaman ilmu yang menjadi
ukuran utama. Atas dasar pengamatan ini dapat disimpulkan bahwa tradisi
keilmuan di Pesantren memiliki asal usul yang kuat, yaitu di satu segi berasal
dari perkembangan tasawuf masa lampau dan segi yang lain pada pendalaman ilmu-ilmu
fiqh melalui penguasaan atas alat-alat bantunya.
Demikianlah uraian singkat ini, mencoba
mengungkapkan asal usul tradisi keilmuan yang ada dipesantren, yang
menghasilkan sesuatu yang unik yang jarang didapati di dunia Islam manapun saat
ini. Dan hasilnya pun sangat mengagumkan, dalam kitab Manahij al-Imdad karangan
Imam Al Ghozali ini terbukti kemampuan ulama di pesantren untuk
mengkombinasikan antara kemampuan mandalami ilmu-ilmu agama secara tuntas
sekaligus mengamalkan tasawuf secara tuntas pula. Alangkah sayang kalau asal
usul ini dilupakan, dan kita hanya terbuai oleh sebuah pendekatan yang dangkal
yang hanya melihat pada pentingnya satu sisi saja. Terpulang pada pesantren
dimasa depanlah untuk mencari aplikasi baru dari kedua kecendrungan yang telah
diserap oleh tradisi keilmuan islam dipesantren selama ini.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Asal
usul tradisi keilmuan di pesantren dapat dilihat pada perkembangan ilmu-ilmu
keislaman sejak pesantren ada dalam masyarakat Islam yang pertama. Salah satu
watak utama dari Islam adalah tekanan yang berat sekali pada aspek pendidikan.
Sebagaimana dapat dlihat pada sejumlah sumber motivatif, seperti ayat Al-quran
dan hadits yang menggambarkan pentingnyaarti ilmu bagi Islam dalam pandangan
Allah dan dalam Pandangan nabi Muhammad. Atas dasar itulah maka islam telah
mengembangkan suatu perangkat keilmuannya sendiri sejak masa dini dari
sejarahnya yang panjang, terbukti dengan adanya kelompok-kelompok yang telah
melakukan spesialisasi.
Berdasarkan
adanya perkembangan itu maka di Pesantren terjadi suatu keadaan dimana
peningkatan fiqh sufistik disuatu fihak dan dipihak lain pendalaman ilmu fiqh
itu sendiri melalui bermaacam-macam alat bantu. Muncullah nama-nama orang yang
dianggap pandai dan mendalami ilmu agamanya, bukan hanya dari segi amaliahnya,
dan bukan dari segi besarnya pengikut tarekat yang dimilikinya, serta bukan
karena tempanya dalam hirarki ketarekatan di Indonesia, melainkan karena
pengetahuan perorangnya mengenai ilmu-ilmu agama yang sudah mencapai batas
sangat tinggi.
B. Saran
a. Sebagai seorang mahasiswa/i yang beranaung dibawah pesantren , Maka
disarankan agar teman – teman
mahasiswa/I memahami dan tahu berbagai wacana dan referensi mengenai
hal-hal semacam ini dengan tujuan untuk menunjang keilmuannya dan juga
menunjang kefahamannya terhadap serangan dan masalah yang akan dihadapi zaman
sekarang dan dikemudian hari dan juga untuk melestarikan tradisi keilmuan yang
ada dipesantren.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdur
Rahman wahid, Menggerakkan Tradisi. 2010, Yogyakarta : LKIS